Namaku Hassano Wiratman. Umurku 25 tahun. Aku bekerja di salah satu perusahaan elektronik terbesar di kotaku. Sudah tiga tahun aku bertahan dalam posisi sebagai engineering (teknisi elektrikal). Aku menandatangani kontrakku pada Maret 2018 dengan masa kontrak selama 5 tahun. Aku pun bekerja menyandang status pekerja harian dengan gaji sebesar Rp.100.000 per hari. Gaji itu jelas tak cukup untuk membiayai kebutuhan hidupku sehari-hari. Terlebih aku hanya anak yatim piatu sedari kecil dan sekarang memiliki istri serta seorang bayi mungil. Namun, aku memilih bertahan sebab tak ada pemasukan lain selain dari perusahaan itu.
Tiga tahun terbilang waktu yang cukup lama bagi seorang buruh pabrik biasa sepertiku. Semakin lama aku bekerja, semakin aku menyadari akan hal yang tidak adil. Saat usia kerjaku memasuki tahun pertama, beberapa kawanku yang telah bekerja selama dua tahun mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalihnya, pemutihan.
Awalnya aku sempat bertanya-tanya mengenai dalih yang dikatakan pihak perusahaan dalam penghentian mereka. Hingga akhirnya aku sadar, kesepakatan kerja yang kuanggap sebagai perjanjian perusahaan terhadap buruh sepertiku ternyata melebihi batasan yang ada. Jam kerja selama 8 jam hanyalah tersurat saja. Faktanya aku dan beberapa rekanku bekerja selama 12 jam perharinya. Lembur kami pun tidak dihargai sepeserpun oleh para manajemen tingkat atas. Cuti? Cih… jangan harap.
Pernah ada kawan buruh yang usianya jauh diatasku. Kawan itu kupanggil Abah karena perawakannya yang bungkuk seperti orang lanjut usia. Aku kerap bercengkrama dengannya. Ia orang yang sangat tabah dan suka tersenyum. Aku juga sering berbagi cerita hidup dengannya, ia benar-benar pendengar yang baik. Ia pernah bercerita sedikit tentang kisah hidupnya. Ia sempat bekerja sebagai penjual sapu keliling dengan jarak yang lumayan jauh selama bertahun-tahun. Penghasilan tak tetap dari hasil penjualan sapu tersebut menyebabkan nya sering kelaparan karena kesulitan untuk makan. Kisahnya benar-benar pilu.
Pernah suatu kali, ia tak masuk kerja karena sedang sakit. Ia kemudian diberi sanksi berupa pemotongan gaji hingga setengah akibat perusahaan tidak menerima alasan tanpa bukti yang jelas. Padahal Abah telah mengirimkan surat keterangan sakit dari puskesmas namun HRD seperti tak menggubrisnya. Apabila saat kondisi sakit pihak perusahaan tetap tidak menerima alasan tersebut, lalu apa alasan yang dapat meyakinkannya? “Mati.” Pikirku.
“Ketidakadilan” jadi kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana tekanan pekerjaan yang cukup intensif. Resiko pekerjaan yang bukan main akibat berhubungan dengan mesin-mesin berbahaya serta jam kerja yang kerap melebihi batas. Namun pihak perusahaan masih tega memberi upah yang tak layak walau dengan segala kepahitan yang ada. “Kami hanya mengikuti peraturan yang berlaku,” dalih mereka. Pernyataan itu jelas jelas tak memberi ruang apapun bagi kaum proletar seperti kami. Pada akhirnya, mau tidak mau, suka tidak suka, kami dituntut selalu siap baik secara fisik maupun mental untuk mengikuti segala kemauan mereka. atau dengan kata lain kami hanya “mesin” bagi mereka.
Kini di tengah pandemi yang menyerang Tanah Air dan bahkan dunia, pemutusan kerja yang tak sesuai dengan ketetapan kontrak bagi buruh biasa sepertiku menjadi hal yang tak asing ditelinga. Perusahaan kini memangkas buruh habis habisan tanpa memberi sedikitpun tunjangan. Pikiranku melayang. Aku tak bisa membayangkan bagaimana sulitnya menyambung kehidupan mereka yang telah dirumahkan, diliburkan, apalagi diPHK.
“Oy, San!” Suara seseorang yang kukenal menyadarkanku dari lamunan.
“Eh, Bah.” Jawabku sedikit tidak bersemangat.
“Lemes amat. Mikirin apa?” Tanya Abah yang masih bersemangat.
“Biasa, Bah. Cara menyambung hidup ditengah situasi sulit ini.”
“Hahaha… Bisa apa kita, San? Selain berusaha, berdoa dan berserah. Kapitalisme sudah sialan, ditambah pandemi ini.” Ujar Abah sembari menggelengkan kepalanya.
“Habislah kita, Bah.” Jawabku pasrah.
Abah sendiri tampak pasrah dan menerima keputusan sepihak perusahaan. Maklum, ia benar benar takut kehilangan pekerjaannya. Aku pun memilih bungkam. Kalau dipikir lagi, ternyata aku juga senasib dengan Abah. Kami benar benar bergantung dengan pekerjaan ini demi terus hidup. Abah memilih memberiku banyak nasihat dan motivasi ketimbang membicarakan “ketidakadilan” yang ia terima. Dan akhirnya aku sadar, kami lah yang harus terus menyemangati diri demi bertahan, dan kalaupun tidak bisa bertahan, kami juga lah yang harus mencari jalan keluarnya. Lagipula, kepada siapa kami dapat menggantungkan harapan? Apabila perlindungan hak yang seharusnya menjadi tameng bagi kami malah disikapi dengan kehipokritan mereka.
Penulis: Nadya Rajagukguk
Editor: Bunga Heryana
Desain poster: Fachri Elwansyah