Reporter: Ferry Firmanna dan Bimo Adi Kresnomurti

Malang, dianns.org – Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) membuat kampus mempunyai wewenang untuk menjalankan peran baru yaitu income generating institution. Income generating institution merupakan salah satu jalur dalam institusi untuk menghasilkan uang sesuai dengan kewenangannya yang luas. “Ketika kampus diberikan kewenangan untuk mencari sumber pendanaan, ini sama saja dengan prinsip berdagang.” Hal ini diungkapkan Sakban Rosidi, salah seorang pengamat pendidikan saat ditemui oleh awak LPM DIANNS di kediamannya pada Sabtu, 5 Mei 2017.

Pendidikan secara aspek historis global telah memengaruhi jalannya pendidikan tinggi di Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh Abdurrahman Narwastu, salah seorang mahasiswa yang menjadi anggota Komite Pendidikan Universitas Brawijaya (KP UB). “Pengaruh dunia barat seperti halnya neoliberalisme telah muncul sebagai akibat dari kegagalan ekonomi karena over production. Sehingga muncullah komersialisasi pendidikan di Amerika,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa terjadinya perubahan dalam pendidikan tinggi di Indonesia dimulai ketika Indonesia menjadi anggota World Trade Organization (WTO) pada tahun 1995. Kemudian diikuti dengan penandatanganan General Agreement on Trade in Services (GATS) pada bulan Desember 2005. Saat itu pula siap ataupun tidak siap, Indonesia harus mengikuti kewajiban menjadi anggota WTO. Sehingga Indonesia harus mengikuti arus pasar internasional. Dalam GATS, pendidikan menjadi salah satu sektor perdagangan jasa yang diperluas melalui skema pasar bebas internasional. Artinya, semua aspek pendidikan mengalami liberalisasi, kapitalisasi, yang menjurus pada bentuk komersialiasi. Hal inilah yang menjadi salah satu latar belakang munculnya PTN BH.

Menilik dari sisi historis, PTN BH pada dasarnya telah muncul pada tahun 2000 dengan istilah Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 1999. Empat PTN pun ditunjuk untuk menyandang status tersebut. Keempat PTN tersebut di antaranya Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Dalam status BHMN, PTN diberikan kewenangan secara penuh untuk mengelola pendanaan dalam bidang akademik maupun nonakademik. PP ini kemudian digantikan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 2009 yang mengatur tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). UU ini kemudian dikenal dengan UU BHP. Mahkamah Konstitusi kemudian membatalkannya karena dianggap inkonstitusional. Namun pada tahun 2010, pemerintah menerbitkan PP Nomor 66 Tahun 2010 untuk mengatur kembali BHMN. Hingga berita ini diterbitkan, PP tersebut telah digantikan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. UU tersebut mengatur bagaimana jalannya sebuah PTN yang bersifat otonom dan terlepas dari kontrol pemerintah. Menurut Sakban, hal ini merupakan bentuk cuci tangan pemerintah dalam tanggung jawab bidang pendidikan. “Melihat peraturan yang selama ini dibuat, pemerintah mencoba untuk melepaskan tanggung jawab dan cuci tangan dalam hal pendidikan tinggi,” ungkapnya.

PTN BH kemudian meluaskan kedudukannya dalam otonomi kampus. Sehingga pengelolaan dalam hal anggaran, infrastruktur, dan ketenagakerjaan dilakukan dengan basis kemandirian. Pemerintah dalam hal ini tidak mengulurkan tangannya dalam jalannya kehidupan kampus. Dalam skema pendanaan PTN BH, posisi pemerintah ikut terlepas. PTN sendiri memiliki tiga sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) ditambah dengan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). APBN yang digelontorkan oleh pemerintah akan dipotong. “APBN dalam PTN BH akan dipotong, bisa sampai pemotongan sebesar seratus persen seperti yang terjadi di IPB,” ujar Narwastu yang juga merupakan mahasiswa Fakultas Pertanian UB. Ia menambahkan bahwa pemotongan tersebut dapat membuka peluang untuk meperluas sumber pendanaan. Ini akan sama halnya ketika membuka lini usaha hingga menambah penerimaan lewat biaya yang digelontorkan mahasiswa berupa Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP).

Contoh kedua, kampus akan memperoleh kewenangan untuk membuat kebijakan dalam membuka atau menutup program studi. Namun kebijakan tersebut tidak melewati persetujuan dan perizinan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. “Kampus bisa saja menutup program studi ketika itu sudah tidak menguntungkan atau dengan kata lain prodi tersebut tidak mendapat minat yang baik dari calon mahasiswa,” imbuh Narwastu.

Menilik Paradigma Pendidikan

Paradigma pendidikan yang merupakan tanggung jawab bersama kini telah diubah. Hal ini menjadi pertanyaan dan telah diteliti oleh Sakban. “Ketika tanggung jawab bersama ini ditegakkan, nantinya tidak ada yang melakukan tanggung jawab sama sekali karena setiap subjek akan selalu melemparkan tanggung jawabnya,” ujar lelaki yang juga merupakan Dosen Sastra Inggris, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim tersebut. Ia menambahkan bahwa dalam perspektif ekonomi politik pendidikan, kekuatan seharusnya dimiliki oleh pemerintah untuk bertanggung jawab, selain rakyat itu sendiri. Pendidikan terdapat dalam induk pelayanan publik dan oleh karenanya negara merupakan lembaga publik. Sehingga negara berkewajiban untuk memperhatikan kondisi pendidikan itu sendiri.

Namun dalam penerapan PTN BH, ia mengungkapkan bahwa kampus lebih berorientasi pada ekspansi dalam batasan infrastruktur saja. Hal ini merupakan sifat sebuah birokrasi yang dinamakan orbelian. Orbelian mempunyai kecenderungan pada usaha memperbanyak orang untuk dikuasai sehingga dapat memperluas wilayah penguasaan. “Sifat organisasi publik ketika sudah berorientasi profit, tidak akan berbeda dengan organisasi profit pada umumnya,” ujarnya. Hal ini akan memengaruhi fokus dan konsentrasi kampus sebagai salah satu institusi pendidikan yang mana harus terdapat perbaikan kualitas pendidikan secara berkala.

Ia juga mengungkapkan bahwa kampus atau perguruan tinggi sebagaimana institusi publik ketika dalam bentuk otonom, pengelolaan keuangannya adalah secara mandiri. Hal inilah yang akan mengubahnya menjadi private public institution. “Orientasi kampus hanya berupaya untuk memperluas lingkup usahanya saja, tidak berbeda dengan organisasi privat yang tidak memerhatikan penyelenggaraan pendidikan itu sendiri,” ungkapnya. Sakban menyimpulkan, kondisi pendidikan yang mengalami pembelokan orientasi dapat disadari dengan menilik definisi pendidikan yaitu “Education is the process of giving value through teaching or instructional process”. Pendidikan itu proses memberi nilai tambah “Yang tidak tahu apa-apa menjadi tahu, tidak bisa menjadi bisa, melalui proses. Sekarang mestinya jika kita melihat dari itu, ‘out of resources should be dedicated to the process’ mengandung arti bahwa seluruh resources atau seluruh sumber daya mestinya diabdikan ke perkuliahan,” imbuh dosen yang juga mengajar di Universitas Negeri Malang itu.