Penulis; Abdillah Akbar

Malang, Dalam rona menuju gelap malam bersama seorang kawan, saya melaju dengan sepeda roda dua ke suatu desa yang terdapat di Kaki Gunung Welirang. Suatu desa yang berada di tengah sisa-sisa rimba di Provinsi Jawa Timur. Selepas melewati dinginnya rimbunan Hutan Raya R.A Soerjo, saya menemui segerombolan masyarakat dengan menggunakan obor bambu sebagai penerangan, berjalan menuju bukit Paseban Phutuk Kursi. Bukit ini menjadi rangkaian pertama dalam ritual Masyarakat Hukum Adat Sendi untuk menyambut hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-73 tahun.

Rangkaian Ritual Masyarakat Sendi dalam Perayaan Hari Kemerdekaan

Perayaan hari Kemerdekaan tahun ini menjadi momen yang istimewa bagi masyarakat Sendi. Di tahun ini masyarakat telah menemui titik terang setelah 18 tahun berjuang mengembalikan “desa yang hilang”. Secercah harapan ini disambut dengan serangkaian ritual adat Sendi untuk mengukuhkan dan memohon doa kepada leluhur agar tetap diberi keberkahan dalam perjuangan rakyat Sendi. Ketika saya turut mendaki bukit Paseban Phutuk Kursi, saya menemui masyarakat (Kasepuhan, Lurah dan Perangkat desa) sudah memulai ritual Kidi Pangestu pada sebuah susunan batu yang membentuk suatu kursi besar yang disebut Gunung Kursi. Tempat yag dulunya menjadi Petilasan Ratu Kencono Wungu ini telah melalui masa penyusunan kembali setelah susunan batu itu terpisah dan hilang saat warga meninggalkan Sendi. Setelah perjuangan panjang masyarakat, kini desa yang sempat hilang ini telah masuk dalam masa peralihan dan menunggu pengakuan secara administrasi oleh Pemerintah Mojokerto dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Saat wawancara besama awak LPM DIANNS, Pak Cipto yang didaulat sebagai Lurah Desa Sendi menjelaskan Ritual Kidi Pangestu ini sebagai bentuk meminta restu kepada leluhur dengan diwakili oleh tujuh orang pemuka desa sesuai dengan ilmu dan peranannya. Harapannya setiap langkah perjuangan rakyat Sendi diberikan jalan, selain supaya terpeliharanya alam, manusia, dan adat Sendi.

Menurut cerita Pak Toni, selaku Ki Demang Desa Sendi, desa ini telah ada sebelum masuknya Kolonial Hindia-Belanda, yaitu tahun 1918. Pada tahun 1932 Belanda melakukan claim atas Desa Sendi dengan dalih tukar guling menggunakan transaksi uang golden. Masyarakat pun ditekan dan diintimidasi agar keluar dari wilayah desa dan menyerahkan seluruh tanah mereka. Wilayah yang awalnya berupa pemukiman dan pertanian masyarakat kemudian beralih fungsi menjadi perkebunan kopi. Kemudian terlantar menjadi belantara hutan dan markas pejuang gerilya pada masa Agresi Militer II (tahun 1948-1949.) Namun tak berlangsung lama setelah dibombardir Belanda hingga sebagian masyarakat mengungsi ke desa terkedat seperti Desa Pajen, Petak, dan Ngeprih. Semenjak itu Desa Sendi luluh lantak dan lenyap. Kekosongan itu yang membuat Perhutani masuk dan memanfaatkannya sejak tahun 1969 hingga sekarang. Sejak saat itulah Desa Sendi dianggap hilang dan tidak diakui secara administratif oleh pemerintah.

 

 

 

 

 

 

Setelah dari Gunung Kursi saya pun ikut beralih menuju Goa Phutuk Kursi. Di dalam goa telah tersaji seperangkat sesajen, ritual Kholwad pun segera dimulai. “Kalau Rasulullah dulu kan kholwad di dalam goa untuk mendapatkan wahyu yang pertama, kalau dulur-dulur Sendi, harapannya bisa mendapat pertolongan dan mendapat hidayah dari Allah SWT,” ujar Pak Cipto. Segala bentuk peninggalan adat (materil/imateril) pun dilakukan sebagai bentuk penjajakan kembali akibat kekosongan kehidupan di Sendi selama puluhan tahun. Proses perjuangan masyarakat tak hanya terlepas pada tataran administratif. Verifikasi kembali sistem adat dan perangkatnya pun dilakukan untuk menggali kearifan lokal asli Sendi. Hal ini dilakukan masyarakat dengan menelusuri silsilah, dokumen-dokumen sejarah dan hubungan Desa Sendi dengan Majapahit. Bukti-bukti ini digunakan untuk menunjang kelengkapan syarat pembentukan dan pengakuan status Masyarakat Hukum Adat Sendi.

Sebagai menutup rangkaian ritual pada malam hari, saya bersama masyarakat lainnya beranjak menuju Alas Sanggar atau Bumi Perkemahan Desa Sendi. Sesampainya disana sekelompok masyarakat telah bersiap menampilkan Jaranan Rimba Budaya. Balutan hawa dingin khas pegunungan menjadi teman masyarakat dalam menikmati suguhan tarian jaranan.

 

 

 

 

 

 

Ritual terakhir ialah basuhan. Pagi sebelum melaksanakan upacara, masyarakat berbondong-bondong menuju Sumber Panguripan Babakan Kucur. Disini masyarakat secara bergilir melakukan pembasuhan (pembersihan) menggunakan aliran air yang berasal dari sungai kecil perbukitan Hutan Welirang tersebut. Diawali pemanjatan doa dan rasa syukur kepada leluhur agar tetap diberi lindungan dan merawat tradisi. “Oleh karenanya kami tidak putus asa untuk terus memperjuangkan peninggalan para leluhur, tlatah adat Sendi ini sudah tuntunan hidup, adat istiadat yang harus lestari,” ujar Mbah Ngatemin, Kasepuhan Desa Sendi.

Selanjutnya masyarakat yang diwakili ibu-ibu Desa Sendi berbaris dan mengarak bendera Merah Putih dengan ukuran besar menuju Alas Sanggar. Sementara kasepuhan bersama pemimpin lainnya turut berbaris di belakangnya membawa sebuah peti kayu. Peti tersebut berisi Pusaka Gula Klaka atau Sang Saka Merah Putih yang akan dikibarkan saat upacara bendera, yang sebelumnya dilakukan Ritual Agung Pusaka Gula Klaka.

Memaknai Kemerdekaan dalam Perspektif Masyarakat Desa Sendi

Bersihnya langit di Puncak Welirang dan hening sendunya Rimba Sendi, menambah suasana khidmat upacara bendera yang dipimpin oleh Ki Demang Desa Sendi tersebut. Dalam pidatonya, ia menyampaikan beberapa sambutan tentang kerukunan, menjaga tradisi dan budaya serta pengukuhan Masyarakat Hukum Adat Sendi. “Bangsa Indonesia sudah mencapai umur 73 tahun, namun Desa Sendi sampai saat ini masih belum merasakan kemerdekaan. Oleh karnanya mari kita lanjutkan membangun, merawat dan memperjuangkan desa adat sendi untuk anak cucu kita kelak.” ucap Ki Demang Desa Sendi.

 

 

 

 

 

 

Waktu 18 tahun bukan waktu yang singkat untuk perjuangan masyarakat Sendi. Setelah Prokamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, perjuangan tak lagi berhenti mengusir penjajah. Masyarakat Sendi yang diinisiasi 9 orang pun harus berjuang panjang melawan Perhutani yang telah merampas haknya. Masyarakat melakukan penelusuran kembali sejarah/situs, menempati desa sesuai dengan silsilah awal dan memperjuangkan haknya untuk mendapat pengakuan pemerintah. Perjuangan ini sudah menjadi turun menurun untuk masyarakat Desa Sendi agar dapat mengenyam manisnya merdeka dalam arti sebenarnya.

Rahayu Rahayu Rahayu

Rahayu Sagung Damadi