Reporter: Candra Eka Prasetya

Malang, dianns.org – Pasca pencabutan program corporate social responsibility (CSR) yang dilakukan PT Amerta Indah Otsuka, hingga saat ini belum ada kejelasan bagaimana nasib revitalisasi Hutan Kota Malabar selanjutnya. Proses revitalisasi yang telah berjalan 20 persen, kini ‘mangkrakâ’ di tengah jalan dan meninggalkan jejak kerusakan ekologis di berbagai sudut Hutan Kota Malabar. Pihak Aliansi Masyarakat Peduli Hutan Kota Malabar menganggap PT Amerta Indah Otsuka tidak bertanggung jawab atas kerusakan yang telah ditimbulkan dari proses revitalisasi ini. Selama status quo, langkah yang akan dilakukan Aliansi Masyarakat Peduli Hutan Kota Malabar adalah mensomasi pihak otsuka jika tidak segera melakukan restorasi ekologis.

“Dengan melakukan perusakan dan pembiaran, secara hukum mereka sudah melakukan kejahatan lingkungan karena merusak hutan kota. Harusnya mereka melakukan restorasi, mengembalikan seperti sedia kala. Jadi sebelum masuk ke ranah pidana mereka harus disomasi, secara yuridis itu dibenarkan,” kata Purnawan D Negara, Ketua Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur yang juga tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Hutan Kota Malabar, ketika diwawancarai DIANNS, Selasa (27/10) lalu.

Pria yang akrab disapa Pupung ini menyatakan, jika pihak Otsuka tidak ada itikad baik untuk melakukan upaya restorasi ekologis, Aliansi akan mengambil langkah-langkah hukum selanjutnya. “Itu tidak main-main. Kami akan melakukan gugatan mewakili kepentingan hutan kota untuk menggugat pihak-pihak yang merusaknya,” ujarnya. Pupung menambahkan bahwa pihaknya juga akan mengkampanyekan dalam jaringan Walhi secara internasional bahwa PT Amerta Indah Otsuka telah merusak Hutan Kota Malabar yang merupakan kawasan ekologis kritis di Kota Malang. Saat ini Hutan Kota Malabar termasuk dalam kawasan ekologis kritis di Kota Malang. Menurut catatan Walhi, luasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) milik publik di Malang hanya 2.8 % dari luas kawasannya.

Ditemui di tempat berbeda, Robbani Amal Romis, salah satu aktivis yang juga tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Hutan Kota Malabar, mengungkapkan bahwa saat ini sepertinya pihak Otsuka dan Pemkot seakan lepas tangan dengan kondisi Hutan Kota Malabar yang sudah terlanjur rusak. “Pihak aliansi mempertanyakan di mana tanggung jawab pihak Otsuka dan Pemkot (Pemerintah Kota) yang melakukan pembiaran atas kondisi Hutan Malabar yang sudah terlanjur rusak. Kami telah melakukan demo di Konjen (Konsulat Jederal) Jepang di Surabaya untuk menekan Otsuka agar bertanggung jawab atas kerusakan yang telah dilakukan,”kata Robbani saat diwawancari DIANNS, Selasa (27/10) lalu.

Sebelumnya, pada Senin 5 Oktober 2015, belasan aktivis yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Hutan Kota Malabar juga menggelar aksi simbolik di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang menyikapi lambatnya DPRD dan Pemkot Malang menangani masalah terkait Revitalisasi Hutan Kota Malabar. Mereka tidak puas dengan DPRD yang pasif dan kurang tegas memberikan pendapatnya saat mengikuti forum diskusi kelanjutan revitalisasi Hutan Malabar yang digagas Pemkot Malang di Gedung Rektorat Universitas Brawijaya (UB), Sabtu (3/10). Para Aktivis menilai DPRD lambat dan tidak segera memfasilitasi forum untuk membahas secara detail tekait kelanjutan revitalisasi Hutan Malabar.

Dalam Pertemuan yang diselenggarakan di UB tersebut, pihak Aliansi Peduli Hutan Kota Malabar telah menyampaikan konsep revitalisasi yang mereka inginkan. Walikota Malang menyetujui dan berjanji akan merekomendasikan usulan Aliansi. Namun pihak Aliansi meminta agar usulan itu tidak serta-merta disetujui di forum UB. Pupung menegaskan bahwa pihak DPRD harus mengambil alih forum selanjutnya. Menurutnya, tujuan forum diambil alih dan diselenggarakan di DPRD adalah sebagai legitimasi publik karena DPRD merupakan wakil rakyat dan nantinya hasil forum dapat disetujui bersama. “Apa fungsinya jika DPRD hanya menjadi kambing congek yang hanya mendengarkan pertemuan itu. Kami mendorong DPRD harus mempunyai ‘gigi’ dan mempunyai wibawa untuk mengambil alih serta membahasnya di situ,” ujar Pupung.

Aliansi meminta kepada DPRD agar semua rancangan dan konsep yang digagas oleh Pemkot, dari akomodari usulan semua pihak tersebut harus dibahas kembali di DPRD. Jika konsep yang telah diajukan oleh pihak Aliansi tidak pernah dibahas di DPRD, Aliansi bersikap untuk tetap melawan dan tidak mengakui segala proses revitalisasi yang akan dilakukan terhadap Hutan Kota Malabar selanjutnya. Hingga saat ini DPRD belum memfasilitasi forum tersebut. “Pertemuan di Brawijaya kemarin tidak memiliki legitimasi apapun, maka DPRD harus mengadakan forum lanjutan untuk membahasnya lebih lanjut. Setelah dibahas di DPRD itulah kemudia pembangunan-pembangunan di Hutan Malabar kita semua akan mendukung proses itu,” tegas Pupung.

Pupung menyatakan bahwa, pertemuan di UB itu seolah-olah hanya memperalat UB sebagai institusi pendidikan dan memanfaatkan situasi tersebut untuk merayu pihak Otsuka untuk membiayai kembali proses revitalisasi. Hal tersebut yang dengan tegas oleh Aliansi Masyarakat Peduli Hutan Kota Malabar ditentang. “Tidak perlu merengek-rengek dan tidak perlu mengemis kepada Otsuka. Kalau perlu masyarakat urunan, swadaya untuk membiayai itu,” ujar Pupung. Robbani juga menyatakan kesiapan Aliansi untuk melakukan swadaya jika pihak Otsuka tak kunjung memberikan kejelasan. Menurutnya, upaya revitalisasi secara swadaya akan menghindari komersialisasi ruang publik, yaitu dalam hal ini Hutan Kota Malabar. “Komersialisasi ruang publik, ketika ruang publik dikerjakan oleh kontraktor atau ditenderkan, ketika ada iklan di ruang publik. Salah satu untuk menghindari hal itu adalah melakukan swadaya untuk proses revitalisasi hutan Malabar ini,” pungkas Robbani.

Sumber Foto: Dokumentasi Aliansi Masyarakat Peduli Hutan Kota Malabar