Sejumlah massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Suara Rakdjat (Asuro) di depan Balai Kota Malang, Selasa (6/12). Mereka menyerukan penolakan terhadap pengesahan pasal kontroversial Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan. Aksi bertajuk “Gagalkan RKUHP: Undang-Undang Kolonial Gaya Oligarki” ini dihadiri segelintir massa perwakilan dari berbagai aliansi, ormek, dan lainnya.

Massa aksi menenteng berbagai banner yang sarat akan pernyataan dan simbol penolakan terhadap pengesahan KUHP. Aksi juga diwarnai dengan orasi dari para orator yang menyerukan penolakan terhadap pengesahan pasal kontroversial KUHP. Penyampaian beberapa pasal kontroversial diiringi dengan teriakan persetujuan dari masa demonstrasi. “Kita disini menolak hukum yang membatasi pemikiran!” seru sang orator.

Ahmed, salah satu massa aksi, menyampaikan bahwa aksi ini merupakan awal dari penolakan kehadiran KUHP yang baru disahkan. “Aksi pada sore ini adalah langkah pertama untuk menolak kehadiran RKUHP yang di dalamnya terdapat pasal-pasal yang bisa meng-kriminalisasi gerakan rakyat, membungkam kritik dari masyarakat, dan mengancam demokrasi,” ujarnya.

Ahmed berpendapat bahwa demonstrasi selanjutnya akan menghadirkan masa dengan jumlah yang jauh lebih besar. Adapun tuntutan yang akan disampaikan pada aksi selanjutnya tidaklah jauh berbeda dengan saat ini. “Agenda selanjutnya adalah aksi seperti ini, dengan eskalasi massa yang jauh lebih besar dengan tuntutan yang tak jauh berbeda,” sampainya.

Penundaan waktu demonstrasi pun juga sempat dilakukan para demonstran. Waktu awal ditentukan untuk pelaksanaan seruan adalah pagi pukul 10.00 WIB, diundur menjadi pukul 15.00 WIB. Ahmed, menyatakan bahwa penundaan ini tidak dipengaruhi oleh pengesahan KUHP yang terjadi di pukul 11.56 WIB. “Tidak begitu berpengaruh karena kita melakukan aksi bukan di lokasi dimana RKUHP disahkan, yakni di Jakarta, kita hanya di Malang,” tutur Ahmed.

Demonstrasi diakhiri dengan pembacaan hasil rilis kajian oleh salah seorang orator aksi. Tuntutan yang disampaikan yaitu mengenai minimnya partisipasi masyarakat dalam didengarkan, dipertimbangkan pendapatnya, dan pemberian kejelasan atas pendapat yang disampaikan dalam proses pengesahan UU hingga pendesakan revisi dan penghapusan pasal kontroversial KUHP. Beberapa pasal KUHP kontroversial yang baru disahkan, disampaikan dalam pembacaan pers rilis, yakni:

  1. Pasal 240 menyatakan bahwa setiap orang yang dimuka umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah/lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II
  2. Pasal 232 dan Pasal 233 KUHP memuat tindak pidana terhadap upaya penghalangan rapat badan pemerintah dan lembaga legislatif. Pasal ini diperkuat dengan dihadirkannya pasal 261 yang memenjarakan perbuatan menerobos gedung pemerintah.
  3. Pasal 256 terdapat peraturan agar masyarakat menyampaikan pemberitahuan kepada pihak berwenang sebelum menggelar pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi.
  4. Terdapat pula pasal 246 dan 247 KUHP yang mempidanakan seseorang yang menghasut massa dengan tujuan melawan penguasa hukum.

Berdasarkan beberapa kajian yang disampaikan, Aliansi Suara Rakdjat (Asuro) mendesak pemerintah untuk segera merevisi KUHP yang baru disahkan dan menghapus seluruh ketentuan krusial di dalamnya yang berpotensi memberangus HAM dan demokrasi. Asuro juga mendesak pemerintah dan DPR RI untuk selalu membumikan partisipasi publik yang bermakna di dalam siklus pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang menjadi kewenangan pemerintah.

Penulis: Ilham Laila

Editor: Ernanda Hajar