Reporter: Yogi Fachri Prayoga

Malang, dianns.org – Akademi Indosiar yang dilaksanakan di Widyaloka, Universitas Brawijaya (UB) sejak pukul 09.00 WIB, Kamis (17/5/2012) kemarin sudah terlihat sepi ketika memasuki pukul 14.00 WIB. Hanya beberapa pelamar kerja yang berlalu-lalang saat kedua reporter LPM DIANNS sedang duduk di luar Widyaloka. Salah satu reporter LPM DIANNS yang sedang mengambil beberapa foto di sekitar Widyaloka langsung memanggil rekannya untuk mewawancarai pemimpin redaksi Indosiar, Nurjaman Mochtar, yang sedang menunggu mobil ang akan membawanya pergi meninggalkan kawasan UB.

Setelah memperkenalkan diri, kami mulai melemparkan pertanyaan seputar hari pers internasional yang beberapa bulan lalu kita peringati. Berikut cuplikan wawancara dengan Nurjaman Mochtar.

Bagaimana sikap kita dalam merayakan hari pers internasional?

Saya pikir, hari pers harus dijadikan ajang mengoreksi diri bagi masyarakat pers. Bagaimana pers berperan dan berkiprah di masyarakat karena pers merupakan salah satu pilar demokrasi. Sebagai pilar demokrasi, pers harus bisa mewakili masyarakat dalam mengkritisi dan mengkoreksi fenomena yang terjadi dimana saja. Pers itu bukan perwakilan pemerintah dan kelompok, pers itu harus bisa berdiri sendiri diatas golongan. Hari pers itu seharusnya menjadi evaluasi bagi pers, apakah pers sudah benar-benar memenuhi kebutuhan masyarakat dalam hal informasi. Intinya hari pers bisa mengingatkan pers sendiri bahwa pers harus mewakili kepentingan publik.

Kebebasan pers yang selalu menjadi tema dalam memperingati hari pers, apakah masih relevan?

Berbicara mengenai kebebasan itu sangat relatif, bahkan di negara paling demokratis pun nilainya sama dengan di Indonesia. Terminologi dulu yang menyebutkan kebebasan yang bertanggung jawab sangat pas untuk diterapkan saat ini karena dalam melaksanakan tugasnya media harus berpihak kepada kebenaran. Itulah yang menjadi tolak ukur apakah media sudah benar-benar melaksanakan itu. Apakah kebebasan pers sudah terlaksana di negeri ini, saya sependapat dengan masyarakat yang menyebut kebebasan pers sudah “kebablasan” karena kebebasan pers itu harus beramanat. Keberpihakan pers itu bukan kepada kepentingan kelompok sana-sini tapi pada kebenaran itu sendiri.

Dalam hari pers juga dibahas tentang perlindungan kerja para jurnalis. Bagaimana tanggapannya mengenai hal itu?

Perlindungan jurnalis akan menjadi perdebatan seumur hidup, cuma komitmen melindungi jurnalis dalam hal regulasi sudah mulai disadari segala pihak, polisi, masyarakat, dan jurnalis itu sendiri. Mereka paham dalam melaksanakan tugas jurnalistik, pers harus dilindungi. Nantinya, kita sepakat untuk menolak segala macam kekerasan.

Masalah pornografi tetap menjadi polemik dalam merayakan kebebasan pers itu sendiri, menurut bapak?

Masyarakat harusnya lebih berani dan aktif untuk mengawasi setiap karya jurnalistik, apakah mengandung unsur pornografi atau tidak. Masyarakat masih kurang memanfaatkan KPI dan Dewan Pers dalam menyampaikan keluhan terkait karya-karya jurnalistik yang diterbitkan. Masyarakat harus tahu bahwa KPI dan Dewan Pers bersifat pasif sehingga mereka akan berfungsi ketika ada keluhan dari masyarakat.

Obrolan yang seru antara kami dengan Nurjaman Mochtar harus terhenti ketika mobil yang digunakan untuk menjemput Nurjaman Mochtar dan Tina Talisa sudah datang. Sebelum meninggalkan Widyaloka, Nurjaman Mochtar sempat memberikan pujiannya kepada panitia yang membatu mensukseskan Akademi Indosiar di Kota Malang.

Foto : unesco.org