Reporter : Bimo Adi K.
Malang, DIANNS – Berbicara masalah pangan akan merujuk pada pembahasan yang luas. Berdasarkan komoditi, tidak hanya beras saja, tetapi (sembilan bahan pokok) sembako dan varian beras itu sendiri juga akan mengurai permaslaahan yang kompleks. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Dosen Sosial Ekonomi Pertanian, Setiyo Yuli Handono, saat menjadi salah satu pemantik diskusi publik bertajuk “Masalah Pangan Masalah Siapa?” yang digelar oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Canopy, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya (FP UB).
Diskusi yang digelar di Panggung Lembaga Kedaulatan Mahasiswa (LKM) FP UB pada tanggal 2 Juni 2016, pukul 19.00 WIB tersebut, Handono memaparkan fakta dari hasil temuan mengenai level produksi. Kuantitas dari setiap 1 hektar tanaman padi dapat dihasilkan paling sedikit 2,5 ton dan paling banyak 17 ton dengan rata-rata produksi sekitar 4-6 ton. Dari data ini, jika dikalkulasikan secara keseluruhan, Indonesia sebenarnya tidak memiliki masalah dalam tataran produksi. Sementara itu, pada level konsumsi, pola pikir sebagian besar masyarakat Indonesia masih bergantung pada nasi sebagai makanan pokok.
Menurutnya, setiap orang dapat mengonsumsi beras sebanyak 90-100 kilogram per tahun. Handono menekankan, data pada tahun 2011 oleh Kementerian Pertanian menyatakan bahwa jumlah kebutuhan dengan konsumsi beras adalah surplus. Namun, yang masih dipertanyakan ialah adanya kebijakan impor beras. Terkait hal ini, Ia memaparkan, penggunaan beras tidak hanya sebatas dikonsumsi sebagai nasi namun, diolah menjadi tepung beras untuk diolah menjadi makanan olahan.
Selanjutnya Handono bercerita mengenai level distribusi hasil panen komoditi. “Ternyata ada permainan dalam distribusi, ada yang namanya cukong, ada yang namanya makelar. Mereka memiliki kekuatan yang besar dalam hal menguasai komoditi pertanian dengan cara nebas atau mborong hasil produksi tani,” ujarnya. Istilah untuk petani yang tidak mempunyai lahan, tetapi menguasai komoditi tersebut dinamakan Petani Daun. Selain permasalahan tentang makelar pada level distribusi, ia berpendapat bahwa level hukum juga memiliki peranan penting. Fungsinya ialah sebagai alat pengontrol atau pengawas aktivitas makelar dan pemborong. Namun, ia meyakini bahwa pada level hukum saat ini belum berjalan dengan baik untuk mengatur hal tersebut.
Berdasarkan penuturan Handono, dari ketiga level dalam masalah pangan tersebut, Indonesia masih terkendala pada level distribusi akibat adanya makelar atau cukong. Pada level distribusi ke konsumsi, Handono menambahkan, terdapat banyak aspek yang membuat masih kurang meratanya distribusi ke masyarakat. Sebagai contoh ialah aspek usia dan pekerjaan yang kurang layak sehingga dapat menghambat akses masyarakat untuk mengkonsumsi hasil-hasil pertanian.
Pemantik lain, Alif Mansyur dari Komunitas Pola Tanam dan Sehat Amanah (PTSA) bercerita tentang pemanfaatan sela-sela lahan untuk
ditanami ubi-ubian oleh para petaninya. Ia menambahkan, terkait masalah mentalitas petani, pemberdayaan diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keahlian petani. “Jika para petani mempunyai kemandirian, maka diperlukan pemberdayaan agar mereka mampu mencerna kebijakan pemerintah,” tutur Alif.
Salah satu peserta diskusi, Pras, menanggapi mengenai langkah konkrit untuk menangani permasalahan pangan. Menurutnya, permasalahan yang ada tidak bisa berhenti hanya pada level diskusi saja. Dengan kata lain, dibutuhkan output yang nyata dari adanya diskusi tentang masalah pangan tersebut. Menanggapi hal tersebut, Handono menyatakan bahwa salah satu aksi nyata yang bisa dilakukan adalah berkontribusi untuk membantu masyarakat sesuai dengan kemampuan. Seperti halnya pers mahasiswa dengan penanya, mereka dapat menuliskan temuan-temuan di lapangan yang layak diungkap agar masyarakat dapat mengakses informasi tersebut.
Handono menegaskan masalah dalam skala mikro masih terdapat pada petani sendiri. Menurutnya, para petani tersebut cenderung mengikuti segala kemauan dari luar dalam hal aktivitas menanam. Sementara itu, permasalahan dalam skala makro tidak lain ialah tentang kebijakan pemerintah. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah seringkali masih inkonsisten.