Reporter: Rethiya Astari dan Dinda Indah
Dewasa ini, kasus kriminalisasi terhadap aktivis buruh dan pemberangusan ruang diskusi marak terjadi. Imbas kriminalisasi buruh dan pemberangusan ruang diskusi tidak hanya dirasakan oleh buruh melainkan juga mahasiswa. Mahasiswa sebagai calon buruh masa depan diharapkan dapat berperan serta dalam memerangi kriminalisasi dan pemberangusan ruang diskusi. Permasalahan ini menjadi pembahasan utama dalam diskusi panel yang menghadirkan pemateri dari Forum Serikat Buruh Perjuangan Indonesia (FSBPI) Gresik pada Sabtu, 23 April 2016 lalu dalam acara Ruang Raung di Jalan Jakarta nomor 34, Malang.
Diskusi yang mengusung tema “PERSEKUSI : Menghadapi Pemberangusan Demokrasi dan Kriminalisasi Aktivis” ini merupakan refleksi terhadap fenomena kriminalisasi aktivis yang terjadi selama ini. Dalam diskusi ini menghadirkan Sony Prasetyo dari Militan Indonesia, serta Mujiono dan Budi Santoso dari FSBPI selaku pembicara. Pokok pembahasan yang menjadi fokus dalam diskusi ini adalah kriminalisasi aktivis buruh dan peranan mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa.
Diskusi ini diselenggarakan dengan latar belakang kasus kriminalisasi yang dialami aktivis buruh. Kriminalisasi ini merujuk pada penerapan status kriminal terhadap orang/kelompok orang yang bukan pelaku kriminalitas dan tidak melakukan kejahatan. Adanya kriminalisasi dari pihak penguasa menunjukkan bahwa kebebasan setiap individu yang mengaku bahwa dirinya bertanah air Indonesia masih dikekang di negara ini.
Data dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menyatakan dalam rentang waktu Januari hingga Maret 2016, sebanyak 22.000 buruh mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan biaya produksi yang terlalu mahal. Melihat fakta ini, pembicara mengajak para peserta diskusi yang terdiri dari mahasiswa dan masyarakat umum untuk bersama-sama merenungkan permasalahan tersebut.
Sebagai contoh, aksi demonstrasi yang digelar buruh dan mahasiswa dalam rangka menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang Pengupahan pada Oktober 2015 lalu, yang berujung dengan pengkriminalisasian 29 orang demonstran. Mereka yang dikriminalisasi terdiri aktivis buruh, aktivis mahasiswa, dan pengacara LBH dengan dalih melanggar batas maksimal jam demontrasi. Bentuk-bentuk pengekangan tersebut, menurut Sonny Prasetyo, tidak lepas dari krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 2008 silam. Ia juga menuturkan peristiwa ini menyebabkan para kapitalis memaksa kelas penguasa untuk mendesak kaum buruh atau pekerja.
Sementara itu, kasus kriminalisasi terhadap aktivis buruh, Abdul Hakam dan Agus Budiono, yang dilaporkan oleh PT Petrokimia Gresik, atas tuduhan perbuatan tidak menyenangkan juga tidak luput dari pembahasan. Mereka dilaporkan pada tanggal 27 Mei 2013 ke Polres Gresik melalui surat kepolisian nomor: S.Pgl./499/V/2013/Reskrim. Hal tersebut disinyalir terjadi akibat dari aksi yang dilakukan oleh FSBPI Gresik untuk menuntut keadilan atas pelanggaran hak-hak normatif di beberapa perusahaan outsourcing di PT Petrokimia Gresik.
Menurut Budi Santoso, berbicara masalah buruh tidak akan ada habisnya. Sebab, masalah-masalah baru yang berkaitan dengan hak-hak normatif kaum buruh akan selalu muncul setiap tahunnya. “Jika ada yang bilang masalah buruh tidak pernah selesai, memang benar karena kita selalu menemui masalah baru,” tuturnya.
Masalah yang dihadapi buruh beragam, salah satunya adalah masalah outsourching yang sangat merugikan karena menyebabkan ketidakjelasan nasib buruh. Selain itu, masalah peraturan pengupahan buruh yang akan didasarkan pada mekanisme pasar juga turut andil dalam memperburuk nasib buruh.
Di sisi lain, Mujiono menyayangkan sulitnya membangun kesadaran di tataran buruh meskipun mereka memiliki banyak masalah dan juga rawan ditindas. Ia mengumpamakan dalam sebuah pabrik ia bisa menggandeng satu atau dua orang saja untuk belajar masalah perburuhan, hal tersebut sudah cukup bagus. Apalagi, jika setiap aktivis mampu menggandeng sepuluh orang. Ia menjamin bahwa sebuah pabrik bisa berhenti beroperasi.
Meskipun demikian, Mujiono tidak menyalahkan buruh atas kurangnya kesadaran mereka terhadap nasibnya sendiri. “Sistem kapitalis yang menyebabkan mereka begini,” ungkapnya. Menurutnya buruh memang dirancang untuk bekerja, bukan untuk berpikir.
Mujiono mengharapkan adanya peran serta dari mahasiswa untuk bersama-sama kaum buruh memerangi penindasan. Hal senada juga diungkapkan oleh Budi. Menurutnya, para buruh sulit percaya pada kata-kata sesama buruh. Sebaliknya, buruh akan lebih mendengarkan perkataan mahasiswa. Mereka percaya bahwa seorang mahasiswa lebih cerdas dibanding kaum buruh.
Salah seorang peserta diskusi mengatakan, ada hubungan antara mahasiswa dengan masalah yang dialami buruh saat ini. Ia menggambarkan, ketika mahasiswa lulus, sebagian besar dari mereka memilih untuk bekerja dan tidak sedikit diantaranya yang menjadi buruh. Sehingga, masalah yang dialami buruh saat ini menurutnya sangat mungkin dialami oleh mahasiswa ketika mereka telah masuk dalam kelas pekerja. Ia mengimbau agar mahasiswa menyimak dan memberikan perhatian atas masalah perburuhan saat ini.
Fotografer : Resti Syafitri A.