Penulis : Dinda Indah Asmara
Judul : Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda
Penulis : Multatuli atau Eduard Douwes Dekker
Penerjemah :Inggrid Dwijadi Nimpoeno
Penerbit : Qanita
Jumlah halaman : 477 halaman
Ukuran : 21 cm x 12 cm
Rakyat kecil adalah golongan yang rawan tertindas. Penindasan terhadap mereka terjadi karena sistem yang benar, yaitu rakyat adalah tuan dan pejabat negara adalah pelayan mereka yang telah diputarbalikkaan. Pejabat menjadi tuan dan rakyat menjadi pelayan. Harta dan tenaga rakyat diperas, bahkan mereka juga dibodohkan demi perut kenyang penguasa. Penindasan seperti ini telah terjadi sejak dulu, saat orang-orang masih menggunakan merpati untuk mengirim surat, sampai saat ini era smartphone dan media sosial. Penindasan ini menyebabkan rakyat kehilangan haknya. Pembodohan oleh sistem yang dibuat penguasa menyebabkan rakyat tidak tahu menahu mengenai hak-haknya. Sehingga para penguasa dengan bebas bisa terus melakukan perampokan tanpa tuntutan.
Penindasan terhadap rakyat kecil haruslah diakhiri. Sejarah telah mencatat orang-orang dan berbagai karya yang telah berjuang untuk membebaskan rakyat kecil dari penindasan. Max Havelaar adalah salah satunya. Pramoedya Ananta Toer menyebutnya sebagai buku yang membunuh kolonialisme. Buku ini sebenarnya adalah pengalaman penulisnya sendiri yaitu Multatuli, ketika melihat kesewenang-wenangan pejabat saat menjabat sebagai asisten residen Lebak. Multatuli adalah nama samaran Eduard Douwes Dekker, artinya aku telah banyak menderita. Dalam karya Multatuli ini tidak hanya bercerita mengenai kisah Max Havelaar saja, tetapi juga ada kisah Droogstoppel dan Sjaalman, makelar kopi yang sangat perhitungan dan temannya yang miskin, serta kisah cinta Saidjah dengan Adinda yang berakhir tragis.
Menurut saya buku ini sangat menarik karena Multatuli menggunakan tokohnya seolah-olah sebagai penulis buku itu sendiri, sehingga memberikan sudut pandang yang berbeda dari biasanya. Kisah dalam buku ini diawali dengan pertemuan antara Droogstoppel dengan Sjaalman di depan sebuah toko buku. Sjaalman saat itu sedang dalam kesulitan ekonomi, sehingga dia meminta tolong pada Droogstoppel agar bersedia memberikan jaminan agar hasil karyanya bisa diterbitkan. Pada masa itu untuk menerbitkan sebuah buku, penerbit memang tidak menilai melalui kualitasnya, tetapi berdasarkan reputasi penulisnya. Tentu saja Droogstoppel menolak hal ini, tetapi saat melihat manuskrip hasil karya Sjaalman yang ia kirimkan, Droogstoppel mulai tertarik, apalagi saat melihat manuskrip tentang perdagangan kopi Hindia Belanda. Akhirnya Droogstoppel menyetujui tawaran Sjaalman
Dalam bayangan Droogstoppel, dia merasa harus menulis buku itu karena masa depan perdagangan bergantung pada buku ini, bahkan ia juga merasa buku ini menyangkut semua orang, termasuk raja. Tetapi setelah selesai, hasil tulisan dari buku ini benar-benar berbeda dari bayangan Droogstoppel. Ini semua karena campur tangan Ernest Stern, anak Ludwig Stern seorang pedagang kopi terkemuka di Hamburg. Ernest Stern ia pekerjakan di perusahaannya dengan tujuan agar Ludwig Stern tidak beralih ke makelar kopi lain dan tetap menjadi pelanggannya.
Stern muda (Ernest Stern)ingin ikut serta dalam penulisan buku itu. Karena takut Ludwig Stern beralih ke makelar lain, akhirnya Droogstoppel menyetujuinya dengan beberapa perjanjian. Salah satunya, judul dari buku yang akan ditulis yaitu, Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda. Droogstoppel juga tidak boleh mengubah tulisan Stern muda sama sekali. Hasilnya yang dituliskan Stern muda bukanlah tentang perdagangan kopi, melainkan kisah seorang Asisten Residen Lebak yang memerangi kesewenang-wenangan Max Havelaar.
Saat pertama kali datang ke Lebak untuk menjalankan tugasnya, Max Havelaar sudah mengenali masalah-masalah di daerah itu. Kemiskinan, kelaparan, dan perpindahan penduduk secara beasar-besaran dari Distrik Parang Kujang. Semua itu disebabkan oleh kesewenang-wenangan Bupati Lebak dan keluarganya. Pada masa itu posisi bupati diduduki oleh bangsawan, karena seorang bangsawan sangat dihormati. Mereka adalah keluarga raja. Sehingga, ada kesungkanan untuk menolak perintah mereka. Belanda memanfaatkan ketundukan rakyat pada kalangan bangsawan ini agar rakyat lebih mudah dipegang dan diperas.
Dengan memanfaatkan kepriayiaannya, Bupati Lebak melakukan pemerasan kepada rakyatnya sendiri. Semua itu agar kebutuhannya sebagai seorang bangsawan, anggota keluarga kerajaan dapat terpenuhi. Sudah hal biasa jika seorang bangsawan menyukai hewan ternak seperti kuda dan kerbau milki rakyat, maka rakyat meskipun ia sangat miskin pasti akan memberikannya kepada mereka. Ini adalah sebuah keharusan, karena akan dianggap sebuah penghinaan jika mereka menolak memberikannya. Para bupati juga sudah biasa meminta rakyat menggarap tanahnya tanpa bayaran. Resikonya tanah rakyat sendiri tidak akan tergarap dan tidak akan memberikan hasil untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Hal seperti ini sering kali terjadi dan ini membuat Max prihatin. Dia berusaha dengan keras untuk mengakhiri penderitaan rakyat itu. Awalnya dia menggunakan cara-cara halus, misalnya dengan membantu Bupati Lebak keluar dari masalah keuangannya sehingga ia tidak akan memanfaatkan tenaga dan harta rakyat Lebak lagi. Namun cara itu tidak berhasil, rakyat Lebak masih saja mengalami kesewenang-wenangan. Sehingga Max menggunakan cara yang lebih keras, misalnya dengan melaporkan penyimpangan itu kepada Residen Banten, atasannya, namun tidak berhasil. Bahkan, Max juga menulis surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, meminta untuk bertemu dan membahas masalah penyimpangan ini. Max menganggap, sebagai penguasa tertinggi di Hindia Belanda, gubernur jenderal memililiki kebijaksanaan dan kuasa yang besar. Namun sayangnya usahanya ini masih tidak berhasil juga. Gubernur jenderal menolak bertemu dengannya.
Max menghadapi banyak kesulitan untuk menghentikan penindasan terhadap rakyat Lebak ini. Penderitaan yang dialami rakyat Lebak memang sangat parah. Penderitaan ini oleh Multatuli ia gambarkan dalam kisah cinta Saidjah dan Adinda yang sama-sama miskin, namun berakhir tragis karena pemerasan yang dilakukan oleh Bupati. Namun dalam menghadapi penindasan ini bukannya rakyat Lebak hanya diam saja. Mereka juga ingin melawan, namun mereka ketakutan. Seorang rakyat kecil memang susah melawan seorang bupati. Selain akan dianggap lancang, bupati memilki banyak sekali kaki tangan untuk melindungi kejelekannya. Sementara rakyat kecil harus mengandalkan kekuatannya sendiri untuk mendapatkan haknya yang terampas.
Membaca buku karangan Multatuli ini benar-benar membuat perasaan bercampur aduk antara marah, sedih, dan kesal. Jalinan kisah dalam buku ini membuat pembaca bisa melihat melalui berbagai sudut pandang. Dari Droogstoppel kita bisa melihat dari sudut pandang seorang borjuis kecil Belanda. Max Havelaar sebagai cerita utama menjelaskan mengapa penindasan itu bisa terjadi dari lingkaran atas. Sedangkan kisah Saidjah dan Adinda menjelaskan dampak penindasan itu kepada rakyat kecil, bagaimana menderitanya mereka karena kesewenang-wenangan, sehingga kita bisa mendapatkan sebuah penggambaran sempurna mengenai keadaan penindasan saat itu. Di Belanda sana, buku ini juga dijadikan sebuah buku wajib untuk pembelajaran sejarah. Saat membaca buku ini, saya mendapatkan sebuah fakta yang baru saya ketahui, yaitu penderitaan rakyat Indonesia saat masa penjajahan, tidak hanya disebabkan oleh pemerintah kolonial saja, namun pejabat pribumi juga punya andil di dalamnya. Namun, saya merasa penulisan buku ini masih western sentries, atau lebih memihak kepada pemerintah kolonial, karena kisah penindasan langsung oleh pemerintah kolonial hanya dibeberkan sedikit sekali. Meskipun begitu, buku ini tetap wajib dibaca, terutama oleh para generasi muda, karena penindasan seperti yang digambarkan Multatuli dalam bukunya ini masih terjadi. Masih ada buruh tani yang miskin, anak putus sekolah, juga pemerasan pada para buruh. Mereka haruslah dibebaskan dan itu menjadi tugas kita, para generasi muda, karena ditangan kita tergenggam arah bangsa.
Foto : www.goodreads.com