Penulis : Zendy Titis
“Sudah kubilang dia nggak mungkin datang, Kuv. Ayo balik!”
“Enggak.” Kutepis tangan Lisa, kakakku.
“Kuv… ayo pulang… dia nggak akan datang. Oke?” Suara kakakku melembut, tapi aku tetap bergeming, lalu menatapnya sengit. Biasanya dengan seperti ini, dia akan langsung mengalah.
Perlahan aku mendengar langkah-langkah kakinya menjauh.
Pelayan mengambil cangkir-cangkir kosong di depanku. Dua ampas kopi terendap di sana selagi aku menunggunya.
Nya, pronomina dari dia yang pergi tanpa bekas selain kenangan. Kenangan yang kusesap bersama kepul kopi panas setiap pagi. Nya yang tertinggal di setiap getir bubuk kopi yang tak ikut larut. Yang kukira telah tergilas oleh geraham dan muncul di jamban untuk kemudian terguyur musnah. Namun apalah arti perasaan yang terhimpit antara harapan dan keraguan.
“Don’t be a stupid girl.” Dialogku dengan kakakku suatu hari, ketika sebuah pesan singkat tiba-tiba mendarat di ponselku. “Dia ingin ketemu tuh buat mutusin kamu.”
Aku bisa menduganya, tapi toh aku tetap menemuinya. Meskipun kuakui aku takut bertemu dengannya, bukan berarti aku tidak menantikan momen-momen ini. Menebak-nebak adalah suatu proses yang membuatku mual. Akan seperti apa dia. Kata apa yang pertama keluar dari mulutnya. Apakah keberadaannya di sini adalah untuk benar-benar pulang, atau ini hanya pertemuan di sela-sela kesibukannya.
Aku terantuk-antuk oleh ketidakpastian yang dia buat selama ini. Sejak dia pergi ke ibu kota dan meninggalkanku di kota yang dingin ini, tapi toh kami masih mempertahankan hubungan kami. Meski semua orang yang tahu pasti akan menentang habis-habisan. Namun kata yang keluar dari mulutnya, selalu meyakinkan, bahwa aku dan dia adalah dua jiwa yang disatukan untuk saling berbagi napas. Sebenarnya kata-kata manis seperti itu saja yang kuingat saat ini. Karena hanya itulah yang sedang aku butuhkan.
Waktu bergulir lebih dari yang kusadari. Meski bagiku dunia seperti tak bergerak. Aku tetap hidup dalam kegemingan yang gamang, menunggunya. Maka kuabaikan sindiran malam yang sengaja tidak memantulkan cahaya. Kulemparkan tawa nyinyir pada tetes air pertama yang jatuh ke bumi. Kemudian pada tetes kedua, ketiga, keempat, dan yang kesejuta. Hujan turun tepat ketika kopi ketigaku tandas.
Orang-orang berduyun pindah ke dalam. Sementara aku masih bertahan tanpa tudung atau payung. Hujan mengguyurku dengan lebat, tapi aku tidak merasa dingin sedikit pun. Para pelayan melambai-lambaikan tangannya padaku dari balik kaca. Orang-orang menontonku dengan heran. Sebagian merasa malas, seakan mereka telah terbiasa dengan adegan semacam ini. Melihat orang duduk berjam-jam di luar sampai kafe tutup. Persetan dengan mereka.
Malam semakin menggelapkan. Selain meja-meja kosong, yang ada di hadapanku hanya remang-remang lampu jalan. Aku tidak akan beranjak. Tidak. Sampai ia menepati janjinya untuk datang, lalu kawin lari, seperti yang ia tulis di sms-nya yang terakhir.
Dari keremangan yang pudar, di bawah rinai hujan yang makin mereda, aku mendengar suara langkah. Seseorang berjalan ke arahku, aku yakin itu dia. Maka kularikan diriku ke arahnya. Aroma cherry yang begitu khas melekat di bajunya langsung menyeruak ke dalam hidungku. Aku semakin yakin bahwa itu adalah dia. Sampai jarak sejengkal, kutangkup kedua tangannya. Sebenarnya aku ingin langsung memeluknya. Tapi dia tidak akan suka, karena biasanya dia yang pertama kali memelukku.
“Kamu datang. Kamu datang.” Sambil melihat sekeliling memastikan tak ada bodyguard yang biasa berada di sampingku, aku melompat-lompat girang. “Ayo kita pergi! Kita kawin lari seperti yang kamu bilang kemarin.”
Aku terus menarik-narik tangannya, namun dia tak juga beranjak. Dengan panik, dia menoleh-noleh ke semua arah. Mungkin untuk memastikan bahwa kami aman.
“Tenanglah, tidak ada siapa-siapa yang mengikuti kita. Aku berhasil kabur dari rumah hari ini. Ayo pergi!” Kusambar tangannya lagi, yang langsung dikibaskannya dalam sekali hentakan sambil memekik. Dengan ragu, aku menatap matanya. Mencoba menemukan sinar kehangatan yang selalu berhasil menenangkan kegundahanku karena ulah orang-orang yang melawan hubungan kami. Namun yang kutemukan di sana hanya balasan tatapan ngeri, lebih seperti jijik. Cam, what’s wrong? Apa papa mengancam untuk membunuhmu lagi? Atau ada yang mencoba menggorok lehermu di tengah perjalanan ke sini?
Selama pikiranku berkutat pada pertanyaan-pertanyaan itu, dia berteriak minta tolong. “Tolong… tolong…!”
Apa dia sudah gila?
Sejurus kemudian, tanpa prasangka apa pun akan terjadi, kurasakan tangan-tangan menyergapku dari belakang. Aku berusaha melepaskan diri sekuat tenaga. Mereka pastilah suruhan papa. Orang-orang yang ingin memisahkanku dari dia ini.
“Camila! Camila…” Kuteriakkan nama orang yang ada di depanku itu. “Selamatkan aku. Kita akan kawin lari! Lepaskan aku!” Aku terus meronta, tetapi tangan-tangan yang memegangiku terasa begitu kuat. “Camila, aku cinta kamu!”
Itu adalah lolongan terakhirku di malam yang mengoyak luka ini, sebelum kurasakan sesuatu yang runcing menusuk lenganku. Namun dari sudut mataku, aku masih bisa melihat Lisa berdiri di samping Camila. Lisa yang menutup separuh mukanya, terisak-isak karena melihatku. Setelah itu, aku bisa menebak apa yang akan dikatakannya kepada Camila.
“Saya sungguh-sungguh meminta maaf atas perbuatan adik saya. Dia mengalami sakit mental karena ditinggal kekasihnya menikah dengan orang lain. Sudah tiga tahun dia menunggunya di sini, setiap tanggal 14.”
Dengan ragu, mungkin orang yang ada di hadapannya itu akan membalas, “Kekasihnya… cewek?”
“Wajahnya… sangat mirip dengan anda.”
Kemudian Lisa akan mengajak wanita itu duduk bercengkerama dengan alasan menenangkan diri. Perlahan tapi pasti, bersama kata-katanya yang santun namun persuasif, dia akan meminta nomor telepon. Untuk berjaga-jaga bila aku mungkin mengganggunya lagi suatu waktu. Padahal dia yang akan terus mengganggu wanita itu. Dia yang akan terus menghubungi dan mengajak bertemu. Sampai Lisa mendapatkan incarannya, dia tak akan menyerah. Karena itulah yang terjadi pada Camila. Itu juga yang terjadi pada wanita-wanita sebelum dan setelah dirinya.