Langit malam bagaikan tirai hitam tanpa bintang, hanya bulan purnama yang memancarkan cahayanya yang temaram. Aku duduk di kursi tua di samping ranjang ayah, mataku tak lepas dari wajahnya yang pucat pasi. Demamnya tak kunjung mereda, dahinya terasa panas membara. Batuknya yang sesekali terdengar seperti jeritan kecil menembus keheningan malam.

Ayah terbaring lemas, badannya kurus kering tak seperti sosoknya yang dulu begitu gagah dan penuh energi. Aku tahu dia sakit parah, tapi dia menolak keras untuk dibawa ke rumah sakit. Trauma masa lalunya masih membekas, kenangan pahit tentang pelayanan buruk yang diterimanya dari rumah sakit masih menghantui.

“Nak, tolong jaga ayah di sini saja,” bisiknya dengan suara serak, “Rumah sakit itu neraka bagi orang miskin seperti kita.”

Aku menggenggam tangannya erat, air mata mengalir di pipiku. Aku tahu ketakutannya, aku pun merasakannya. Rumah sakit memang bukan tempat yang ramah bagi rakyat kecil seperti kami. Biayanya mahal dan pelayanannya tak jarang diskriminatif. Rasa terhina sering kali menyelimuti kami di sana.

Malam itu, aku tak henti-hentinya memandikan ayah dengan air hangat, mengompres dahinya dengan kain basah, dan memberinya minum air madu hangat. Aku tak tahu apa yang harus dilakukan, tapi aku tak ingin meninggalkannya sendirian.

Di luar jendela, angin berhembus kencang menerbangkan dedaunan kering dan ranting-ranting kecil. Suara rintik hujan mulai terdengar melengkapi harmoni malam yang kelam. Aku memejamkan mata dan mendekatkan diri pada ayah seraya berdoa dalam hati.

“Tuhan, tolong lindungi ayahku. Berikan dia kekuatan untuk melewati malam ini,” bisikku dalam doa.

Tiba-tiba, ayah membuka matanya dan menggenggam erat tanganku. “Terima kasih, nak,” bisiknya, “Kamu adalah malaikat kecilku.”

Senyum tipis terukir di bibirnya, senyum yang bagaikan cahaya remang di tengah malam yang kelam. Aku balas senyumannya dengan air mata yang membasahi pipiku.

Malam itu, aku tak peduli dengan trauma masa lalu, tak peduli dengan rasa takut akan rumah sakit. Aku hanya ingin menemani ayahku, memberinya kasih sayang dan kekuatan yang dia butuhkan.

Di tengah keheningan malam yang mencekam, di bawah cahaya bulan purnama yang temaram, aku berjanji pada diri sendiri: aku akan selalu menjadi malaikat kecilnya, pelindungnya, dan cahayanya di saat-saat tergelap.

Demam ayah tak kunjung mereda, bahkan semakin menjadi-jadi. Batuknya semakin keras, sesaknya semakin mencekam. Tubuhnya menggigil hebat, panasnya tak tertahankan. Aku panik, rasa takut mulai melanda. Aku tak bisa lagi mendiamkan keadaannya.

“Ayah, kita harus ke rumah sakit!” seruku dengan suara gemetar.

Ayah menggelengkan kepalanya lemah, “Tidak, nak. Tolong, jangan bawa ayah ke sana.”

Aku memohon dengan air mata berlinang, “Ayah, kondisimu parah. Kita tak punya pilihan lain.”

Dengan berat hati aku memanggil Pak RT dan beberapa tetangga untuk membantu mengangkat ayah ke mobil. Perjalanan ke rumah sakit terasa bagaikan mimpi buruk. Tubuh ayah terasa rapuh, nafasnya tersengal-sengal, dan wajahnya pucat pasi seperti mayat.

Sesampainya di rumah sakit, aku langsung menggendong ayah menuju ruang IGD. Aku disambut dengan tatapan sinis dari seorang perawat muda.

“Keluarga mana ini? Cepat urus administrasinya!” bentaknya dengan nada ketus.

Aku tergagap, “Maaf, Bu. saya belum sempat…”

“Uang jaminan?” sergapnya tanpa basa-basi.

Aku terdiam sejenak, rasa frustrasi mulai menyelimuti. Kami tak punya banyak uang, hanya cukup untuk membeli obat seadanya di apotek.

“Maaf, Bu. kami belum punya cukup…”

“Astaga! Mana bisa kami rawat pasien tanpa jaminan? Cari uang dulu sana!” bentaknya sambil membanting pintu ruangan IGD.

Aku terpaku, air mata menetes di pipiku. Aku tak percaya, di saat ayahku membutuhkan pertolongan segera, kami harus dihadapkan pada birokrasi yang rumit dan diskriminasi yang kejam.

Aku menoleh ke arah ayah yang terbaring lemah di atas ranjang IGD. Rasa sakitnya kian bertambah, batuknya tak henti-hentinya menggema di ruangan dingin itu. Aku tak tega melihatnya menderita, tapi aku tak tahu harus berbuat apa.

Di tengah keputusasaan, aku melihat seorang dokter muda yang baru saja memasuki ruangan. Tatapannya penuh empati, berbeda dari tatapan sinis perawat sebelumnya.

“Ada apa ini?” tanyanya dengan suara lembut.

Aku menceritakan kondisinya ayah dan menjelaskan kesulitan kami dalam mengurus administrasi. Dokter muda itu mendengarkan dengan seksama, lalu tanpa ragu dia langsung memeriksa ayah.

“Tenanglah,” ucapnya setelah selesai memeriksa, “Kami akan menangani ayahmu terlebih dahulu. Soal administrasi, nanti kita bicarakan.”

Aku tersengat mendengar kata-katanya, bagaikan cahaya di tengah kegelapan. Rasa haru dan terima kasih membanjiri hatiku.

Di lorong rumah sakit yang dingin dan penuh diskriminasi, aku menemukan secercah harapan. Aku percaya, masih ada orang-orang baik di dunia ini, orang-orang yang peduli dengan nasib orang lain tanpa memandang harta dan status.

Malam itu, aku tak henti-hentinya berdoa agar ayah bisa melewati masa kritisnya. Aku tahu jalan masih panjang, penuh rintangan dan perjuangan. Tapi aku takkan menyerah, aku akan terus berjuang demi ayahku.

Jeritan di lorong rumah sakit itu menjadi pengingat pahit tentang realita yang dihadapi rakyat kecil. Tapi di tengah kekecewaan dan keputusasaan, aku menemukan secercah harapan, secercah cahaya yang akan terus menerangi langkahku dalam memperjuangkan hak-hak orang miskin dan melawan diskriminasi yang tak henti-hentinya merenggut hak-hak mereka.

Dokter muda itu, dr. Rian, bekerja keras menangani ayahku. Dia tak hanya memberikan obat-obatan yang dibutuhkan, tapi juga memberikan perhatian dan kasih sayang yang tulus. Aku melihat secercah harapan di matanya, secercah harapan yang sama dengan yang aku rasakan.

Hari-hari berikutnya terasa penuh perjuangan. Ayahku masih lemah, tapi kondisinya perlahan membaik. dr. Rian selalu ada disisinya, memantau perkembangannya dengan seksama. Aku tak henti-hentinya berdoa dan menemani ayahku, memberikannya semangat dan kekuatan untuk melawan penyakitnya.

Suatu pagi, dr. Rian menghampiriku dengan senyuman lebar. “Ayahmu menunjukkan kemajuan yang pesat,” ucapnya dengan penuh optimisme. “Dia akan segera pulih.”

Air mata bahagia mengalir di pipiku. Rasa syukur dan kelegaan membanjiri hatiku. Aku tak percaya di tengah situasi yang penuh keputusasaan, kami menemukan pertolongan dan harapan di rumah sakit ini.

Beberapa hari kemudian, ayahku diizinkan pulang. Kami berterima kasih kepada dr. Rian dan semua staf medis yang telah merawatnya dengan penuh kasih sayang. Di mataku, mereka bukan hanya dokter dan perawat, tapi malaikat-malaikat penyelamat yang datang di saat kami membutuhkannya.

Pengalaman pahit di awal kedatangan kami ke rumah sakit tak terlupakan. Tapi di balik itu semua, aku menemukan secercah cahaya di ujung lorong. Aku belajar bahwa di dunia ini masih ada orang-orang baik yang peduli dengan nasib orang lain, orang-orang yang bekerja dengan penuh dedikasi dan tanpa pamrih.

Aku pernah berusaha mencari tahu alasan dr. Rian membantu dengan sukarela kepada rekan-rekannya, dan aku mendapatkan fakta bahwa dr. Rian tergerak membantu ayah karena dia memiliki pengalaman pahit yang serupa di masa lalunya. Dahulu, ketika dia masih kecil, ayahnya jatuh sakit parah dan membutuhkan perawatan di rumah sakit. Namun, karena keterbatasan biaya mereka ditolak dan tak mendapatkan pengobatan yang layak. Ayahnya meninggal tak lama setelahnya, meninggalkan luka mendalam di hati dr. Rian.

Pengalaman traumatis itu mengubah hidupnya. Dia bertekad untuk menjadi dokter yang berbeda, dokter yang tak akan pernah membiarkan pasiennya terlantar karena masalah keuangan. Dia ingin memberikan pengobatan terbaik bagi semua orang, tanpa terkecuali.

Saat melihat ayahmu di lorong IGD, dr. Rian langsung teringat pada ayahnya sendiri. Dia melihat rasa sakit dan keputusasaan di matamu, dan dia tak ingin aku merasakan hal yang sama seperti yang dia rasakan di masa lalu.

Sejak saat itu, aku bertekad untuk menjadi seperti dr. Rian. Aku ingin menjadi seorang dokter yang tak hanya memiliki keahlian medis, tapi juga memiliki hati yang mulia dan berpihak pada rakyat kecil. Aku ingin menjadi bagian dari perubahan, menjadi suara bagi mereka yang tak didengar dan memperjuangkan keadilan bagi semua.

Kisah ini menjadi pengingat bahwa di balik setiap kesulitan selalu ada harapan. Kita tak boleh menyerah pada rintangan dan diskriminasi. Teruslah berjuang, teruslah bersuara, dan teruslah menjadi cahaya bagi orang-orang di sekitar kita.

Bersama, kita ciptakan dunia yang lebih adil dan penuh kasih sayang, di mana setiap orang tanpa memandang status dan harta dapat hidup dengan layak dan penuh martabat.

 

Penulis: Bambang

Editor: Aida

Layout: Bambang