Penulis: Lupa Ingatan/Administrasi Bisnis 2014
Uang ratusan juta dollar dikeluarkan pemerintah Amerika untuk membiayai peluncuran satelit pendeteksi aura manusia. Ribuan ilmuwan berkumpul mengadakan diskusi terbuka untuk menemukan alat pembaca pikiran manusia jarak jauh–yang tentunya mampu mendeteksi lebih cepat daripada satelit. Agen-agen rahasia seluruh negara dikerahkan ke pelosok dunia: ke dusun, pulau-pulau hasil reklamasi, bahkan hingga ke mal-mal di Antartika. Dimanakah Kesatria Piningit?
Begitulah berita yang menjadi headline koran maupun liputan utama dalam siaran televisi dalam sebulan ini. Tidak hanya media lokal, media mancanegara pun seperti sedang kebanjiran liputan. Bahkan berita di internet juga tak kalah sengit. Setiap portal berita memiliki persepsi masing-masing tentang sosok yang dicari tersebut. Satu per satu orang mengaku menjadi pahlawan yang ditunggu tersebut dengan sejuta alibi: mulai dari didatangi malaikat dalam tidur hingga menemukan batu ajaib dalam genggamannya saat keluar dari kamar mandi.Akun media sosial pun heboh. Hanya saja kali ini tidak lagi saling menuduh, justru saling mengklaim diri sendiri. Seluruh orang di penjuru dunia sepertinya sedang kebakaran jenggot. Bahkan pinguin di Antartika dan beruang kutub utara ikut gelimpungan. Maklum, saat ini jaringan internet sudah bisa diakses di kandang mereka.
Dan aku muak.
**
Langit menghitam. Awan putih yang selalu berarak bersama burung-burung pemakan biji kini tak pernah lagi muncul. Sepertinya semua manusia sudah lupa kapan terakhir kali melihat langit sebiru lautan. Mungkin itulah yang membuat kornea mata mereka semakin menghitam dan burung-burung pun nampak seperti elang: hitam dan kejam. Angin yang berhembus seminggu kali sepertinya juga membuat otak manusia kepanasan namun tetap tak kehilangan kecerdasannya.
Aku melihat manusia semakin lama semakin cerdas saja meskipun tak banyak oksigen yang mengalir bersama darah ke otaknya. Ataukah mungkin itu hanya efek dari pemaksaan kerja otak yang menuntut manusia? Saat ini tidak ada lagi yang bisa didapat manusia tanpa tebusan uang. Persediaan beras semakin menipis bahkan lebih langka daripada emas yang dulu menjadi rebutan. Oksigen pun tak dapat dihirup manusia sebebas dulu, selepas hangusnya hutan-hutan di khatuliswa 10 tahun yang lalu. Dunia ini tak ubahnya rumah sakit dengan pasien sekarat di dalamnya: semua orang harus membeli tabung-tabung oksigen. Beruntung, otak manusia yang cerdas akhirnya menciptakan chip penghemat oksigen yang bisa dipasang di dada dan pencipta karbohidrat sintetis agar manusia tak kelaparan.
Di tengah hiruk-pikuk manusia itulah ditemukan sebuah kitab usang peninggalan Jayabaya. Sekumpulan tulisan yang dulu dianggap omong kosong tetapi sekarang diperlakukan layaknya wahyu Tuhan. Dikisahkan, seorang Kesatria Piningit akan datang setelah bencana besar melanda dunia ini. Ketakutan pun merajalela. Kitab itu dianggap peringatan akan datangnya bencana besar. Manusia ketakutan hidupnya hancur dan tumpukan dollar yang mereka timbun akan benar-benar tertimbun di dalam bumi.
“Kita harus menemukan Kesatria Piningit. Sebelum bencana besar itu terjadi, kita harus dengarkan perintah dia. Saya sudah koordinasi dengan seluruh pemimpin negara untuk mencari Kesatria Piningit,” begitu pidato seorang manusia yang ditakuti oleh seluruh pemimpin negara di dunia. Dengan congkaknya dia berkoar akan menemukan Kesatria Piningit, tanpa menyadari bahwa bencana besar itu adalah kehidupannya saat ini.
Sedangkan aku, aku tak mampu membeli oksigen itu. Aku tak mampu membeli chip untuk bertahan hidup. Aku menjadi satu-satunya yang sekarat dan diabaikan. Seandainya aku bisa mati, aku akan memilih mati saja. Otakku sudah kepanasan semenjak angin masih datang setiap hari, dadaku sudah sesak semenjak oksigen masih bersamaku, dan perutku sudah kelaparan semenjak emas menjadi dewa. Dan sekarang aku harus menanti Kesatria Piningit, seperti Putri Tidur yang menanti pangerannya. Oh bullshit!
**
Malam menjadi satu-satunya penenang. Dengan anggunnya, malam menyembunyikan pekatnya langit meskipun aku tahu, langit akan tetap bergemuruh. Malam juga menghiburku dengan kerlip bintang yang manja. Sinar mungilnya seperti kedip mata seorang bocah yang tertawa pada dunia ini. Begitu menenangkan, menyenangkan, dan menipu. Namun, seindah apapun malam, ia akan memberikan kejutan-kejutan kecil pada manusia, seperti mitos seekor burung gagak yang siap memberikan kabar kematian di atas rumahmu. Begitu pula malam ini yang akan menjadi saksi, atau kusebut saja malam penghakiman.
Kemarin, seorang agen rahasia mengaku menemukan Kesatria Piningit. Ia ditemukan di antara orang-orang yang tinggal di pelosok desa. Sang Kesatria, saat ditemukan, sedang bercerita kepada penduduk tentang sebuah kisah yang telah hilang ditelan zaman. Para penduduk pun menangis mendengar kisah itu, seakan mereka menemukan kembali sebagian ingatan yang telah lama dilupakan. Sang Kesatria memiliki salinan Kitab Jayabaya yang kemudian dianggap sebagai bukti wahyunya sebagai Kesatria Piningit. Sang Kesatria pun dites oleh para ilmuwan dan ditemukan ia beraura ungu –salah satu aura yang menandakan orang tersebut dekat dengan hal-hal spiritual dan metafisika. Malam ini, Kesatria Piningit tersebut akan dihadirkan ke hadapan publik untuk mendengar pengakuannya.
Sang Kesatria berdiri di sebuah podium dengan penerangan lampu yang luar biasa terang. Podium itu ditutupi kain biru nan mewah. Para manusia yang penasaran dan putus asa dicekam ketakutan terhadap bencana besar berkumpul di sebuah stadion sepak bola milik klub terkenal di dunia. Mereka meninggalkan gedung-gedung kantor yang dulu kekeh mereka bangun, meninggalkan uang-uang mereka di kasino yang berdiri di bekas lapangan sepak bola. Mereka seakan lupa terhadap bangunan-bangunan mewah yang mereka bangun di atas rasa sakitku.
Seperti sedang melihat pertunjukkan gladiator, para manusia tersebut bertanya-tanya, singa apa yang akan dihadapi Kesatria di podium itu. Apakah Kesatria tersebut akan mati diterkam singa atau menjadi penyelamat mereka sesungguhnya. Seluruh pemimpin negara duduk melingkar di atas kursi mewah, siap menghakimi Sang Kesatria. Namun, betapa terkejut mereka tatkala melihat seorang kakek tua berdiri di atas podium itu.
“Hai, Kakek Tua! Kamukah Kesatria Piningit yang katanya penyelamat dunia itu?” pemimpin negara congkak itu mulai bersuara.
“Antek-antekmu yang menganggapku seperti itu.”
“Lalu, apa yang kau lakukan pada penduduk itu? Apakah hanya mereka yang kau beri tahu jalan keluar dari bencana itu?”
“Dan bagaimana dengan hasil tes auramu?” seseorang menimpali. Ahh, sepertinya orang-orang disini sudah sangat frustasi, pikir Kesatria.
“Aku hanya manusia tua yang lelah dengan kehidupan ini. Aku menceritakan pada mereka tentang sebuah kisah indah semasa aku muda. Tentang sebuah rasa sakit yang tak pernah kalian dengarkan, tentang dia yang saat ini menangis melihat ulah kalian.” Mata Kesatria itu nampak berkaca-kaca, menahan tangis. Aku bisa mendengar suara hatinya. Dia memanggilku. Dia menangisi kesakitanku.
“Siapa dia? Apa salah kami?”
“Tanah, bumi, langit, dan laut ada di dalam dirinya. Dia yang dulu kau sebut ‘Ibu’, Ibu Pertiwi. Dia yang kau perlakukan semena-mena dengan teori pembangunanmu! Dengan teori uangmu! Lupakah kalian dengan birunya langit? Lupakah kalian manusia yang tak butuh chip-chip robot ini? Dan kalian takut pada bencana? Padahal bencana itu adalah kalian sendiri dan kau!” tuturnya lantang sambil menunjuk pemimpin congkak itu.
“Beraninya kau! Hukum mati dia!”
Kesatria Piningit pun ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Para penonton menangis haru, sejenak mengingatku namun tak pernah melakukan apa-apa. Kemarilah, Kesatria Piningit! Akan kupeluk kamu, kembalilah pada Ibu!