Penulis: Wakhidatul Rohmawati
Mengawali tahun 2018 isu melonjaknya harga beras jenis medium sempat menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Di Jakarta misalnya, kenaikan mencapai Rp 14.100 per kilogram jauh melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan sebesar Rp 9.450 per kilogram berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional. Tak sedikit masyarakat mengeluh mengingat kebutuhan pangan menjadi kebutuhan paling dasar yang berkaitan dengan perut. Keadaan pun sempat memanas ketika kenaikan harga beras berujung pada dikeluarnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 1 Tahun 2018 tentang Ekspor dan Impor Beras. Dengan dikeluarkannya peraturan ini otomatis pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) membuka keran impor sebanyak lima ratus ribu ton dari Vietnam dan Thailand.
Keputusan pemerintah untuk membuka keran impor menjelang masa panen tentu menjadi tamparan keras bagi para petani. Mengimpor beras yang setara dengan beras premium dan menjualnya dengan harga beras medium tentu akan mematikan penjualan beras petani. Orang jelas lebih memilih membeli beras impor. Dengan membayar harga yang sama, akan mendapatkan beras dengan kualitas yang lebih baik. Jika sudah seperti itu mau dikemanakan beras para petani? Bukankan pemerintah berkewajiban mengutamakan produksi pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani?
Hal berbeda justru dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) yang melakukan perlindungan terhadap para petaninya meskipun bukan termasuk negara agraris. Dalam usahanya melindungi petani, pemerintah AS menggunakan dua kebijakan utama yaitu stabilisasi harga komoditas pertanian (Prize Stabilization) dan percepatan pengembangan pedesaan (Rural Development). Melalui kebijakan tersebut, pemerintah AS berusaha mengendalikan pasokan komoditas pertanian agar tetap stabil dan terus berinovasi guna menurunkan biaya produksi. Selain itu guna merangsang ekspor hasil pertanian dan meningkatkan daya saing pasar, pemerintah memberikan subsidi ekspor kepada petani. Imbasnya justru ke negara seperti Indonesia ini yang semakin terpuruk. Sebab hasil pertanian lokal kalah murah dibanding impor yang telah disubsidi. Ujung-ujungnya Indonesia bergantung kepada impor pangan dari negara lain. Hal ini selaras dengan konsep perdagangan menurut Thomas L. Friedman dalam buku Agenda Mendesak Bangsa karya Amien Rais. Amerika Serikat memberi subsidi supaya produk hasil pertaniannya tidak tertembus negara lain. Sedangkan di satu sisi negara berkembang ditekan untuk membuka pasar bebas. Hal ini yang kemudian menghantarkan AS menempati posisi ketiga ekspor beras dengan pendapatan 1,9 miliar USD berdasarkan data worldstopexports.com tahun 2016.
Sementara itu, di Indonesia kedaulatan pangan seakan menjadi hal yang masih jauh untuk dijangkau. Padahal kata gemah ripah loh jinawi[i], selalu disematkan pada Indonesia atas kemakmuran kesuburan tanahnya. Dilansir dari data BPS dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2013-2017) Indonesia masih mendapat suplai beras dari luar. Pada tahun 2013 sebesar 472,66 ribu ton, tahun 2014 sebesar 844,16 ribu ton, tahun 2015 sebesar 861,60 ribu ton, tahun 2016 sebesar 1,2 juta ton, dan tahun 2017 sebesar 311,52 ribu ton. Dengan menambah impor di tahun 2018, seolah menguatkan sederet fakta bahwa Indonesia memang tidak bisa terlepas dari pasokan pangan negara luar. Ada berbagai alasan dibalik impor beras yang terus menerus dilakukan Indonesia. Namun krisis nampaknya menjadi satu-satunya dalih yang selalu digunakan.
Alasan yang kemungkinan berpengaruh dalam hal ini, salah satunya adalah penurunan terhadap penggunaan lahan pertanian. Berdasarkan data BPS Tahun 2016, penurunan terhadap luas penggunaan lahan pertanian di Indonesia dalam kurun waktu lima tahun sebesar 1.92%. Dengan jumlah 39.587.740 Ha pada tahun 2012 menurun setiap tahunnya menjadi 36.764.318 Ha pada tahun 2016. Pun sama halnya penurunan terjadi pada jumlah pekerja sektor petanian sebesar 1,75% setiap tahunnya. Jika diproyeksikan dalam beberapa waktu ke depan, besar kemungkinan luas lahan pertanian tidak hanya semakin menurun, justru akan hangus. Hal ini bukan tanpa sebab, jika kita ambil garis waktu dari tahun 2016 kemudian mundur kebelakang hingga ke tahun 2012, ada satu hal menarik yang bisa jadi saling terkait dengan hal ini. Bahwa dalam kurun waktu tersebut, terdapat sebuah megaproyek infrastruktur di enam koridor Master Plan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang diusung oleh pemimpin negeri kala itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Buntutnya, kini coba dilanjutkan oleh sang penerus, Jokowi dengan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Jika ditarik lebih dalam lagi, seiring dengan derasnya laju pembangunan infrastruktur, ruang menjadi salah satu prasyarat untuk menekan derasnya laju. Oleh karenanya menurut Henry Levebre bahwa sejatinya tidak ada yang sepenuhnya “ideal” karena ruang menjadi arena pertarungan yang tidak akan pernah selesai untuk diperebutkan. Dan ketika logika kekuasaan ikut bermain, disinilah letak kenapa pembangunan selalu erat kaitannya dengan penggusuran. Pada akhirnya, satu per satu lahan-lahan hijau, berganti atas beton-beton yang dibangun meninggi. Lagi-lagi petani yang merugi.
Pembangunan tentu bukan satu-satunya alasan. Dilasir dari katadata.co.id BPS menyurvei sejak tahun 1973 hingga 2013 rasio gini kepemilikan lahan berfluktuasi pada rentang 0,5-0,7. Angka ini termasuk dalam kategori sangat timpang. Bisa juga dikatakan bahwa tingginya struktur penguasaan lahan dalam kurun empat dekade tidak mengalami perbaikan yang berarti. Pola penguasaan tanah seperti ditunjukkan dalam data tersebut menjadi hasil dari politik agraria pada era Orde Baru yang menjadikan tanah sebagai komoditas. Dari sanalah penyediaan tanah lebih ditekankan untuk investasi skala besar. Sementara kepentingan rakyat tentunya menjadi tersampingkan. Hal inilah yang disebut Bachriadi dan Wiradi dalam bukunya Enam Dekade Ketimpangan, dengan bias kepemilikan tanah. Suatu keadaan dimana konsentrasi penguasaan ditoleransi, sebaliknya pemerintah sama sekali tidak memperhatikan persoalan-persolan petani kecil dan ketunakismaan[ii]. Dampaknya tanah di Indonesia dikuasai oleh korporasi perhutanan, perkebunan, dan konglomerat. Sedangkan masyarakat hanya memperoleh sepotong sisanya. Jumalh petani yang memiliki tanah kurang dari 0,5 ha (petani gurem) dan tuna kisma pun meningkat. Keadaan inilah yang menjadi salah satu faktor yang mendorong petani untuk meninggalkan sektor pertanian. Mereka memilih pergi ke kota dengan harapan memperoleh hidup yang layak.
Tentu bukan perkara mudah, mengembalikan mandat Indonesia menjadi negara agraris yang mampu menopang produksi secara mandiri. Tak perlu jauh-jauh, nampaknya Indonesia perlu berkaca pada salah satu wilayahnya, yaitu Kasepuhan Ciptagelar. Kasepuhan yang justru mampu berswasembada dengan balutan adatnya. Kasepuhan Ciptagelar adalah bagian dari Kesatuan Adat Banten Kidul. Secara administrasi terletak di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.
Dalam video dokumenter milik Watchdoc Image yang berjudul Ekspedisi Indonesia Biru: Tiga Rahasia Swasembada Abah menyebutkan ada tiga faktor yang menjadikan Kasepuhan Ciptagelar mampu berswasembada. Faktor pertama adalah larangan menjual beras. Adat disana memposisikan beras sebagai kehidupan dan bertani bukan dianggap sebagai mata pencaharian, tetapi kehidupan. Ketika masyarakat menjual beras, diibaratkan menghilangkan nyawa karena sama saja mereka menjual kehidupan, dan itu termasuk dosa besar. Dengan adanya larangan menjual beras tak heran bila stok beras di lumbung-lumbung warga Ciptagelar tak pernah surut. Satu lumbung kecil dapat menampung 500 ikat padi, yang cukup menghidupi satu keluarga kecil selama setahun. Faktor kedua adalah strategi tanam serentak dengan melihat tanda astronomi, yaitu bintang Kidang dan Kerti yang menjadi acuannya. Kedua bintang itu hanya lewat setahun tiga kali, ketika posisinya sudah lurus, itulah saatnya menanam padi. Dengan adanya penanaman serentak, hama menjadi tidak banyak karena kurangnya bahan makanan untuk berkembang biak. Faktor ketiga adalah sistem kepemilikan tanah dan tata ruang. Disana setiap warga memiliki lahan garapan sendiri, namun sifatnya bukan kepemilikan pribadi dan tanpa sertifikat. Oleh karenanya tanah tidak dapat diperjual-belikan. Tanah garapan hanya bisa dipindah tangankan pada masyarakat kasepuhan dengan sistem ganti rugi. Dengan kepemilikan tanah garapan secara kolektif, menjadikan agenda tanam dapat dilakukan secara serentak.
Dari sanalah, kita menemukan salah satu jawaban. Bahwa untuk mengembalikan Indonesia terhadap ancaman krisis pangan bukanlah dengan bergantung kepada negara luar. Bukan pula dengan penggunaan alat-alat modern yang justru merusak panen. Dan bukan juga dengan membiarkan masyarakat terusir dari tanahnya. Salah satu hal yang bisa dilakukan yaitu dengan menengok kembali budaya kita yaitu menanam, merawat, serta memanen.
[i] Kekayaan alam yang melimpah
[ii] Tidak memiliki tanah
Ilustrator: Salsa Nur Aisyah