Judul: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Sutradara: Sunil Soraya

Penulis: Buya Hamka

Waktu Rilis: 19 Desember 2013

Produser: Ram Soraya

Pemeran: Hayati (Pevita Pearce), Zainuddin (Herjunot Ali), Aziz (Reza Rahadian), dll.

 

Tak lama setelah kesuksesannya dalam film 5 cm (2012), Sunil Soraya meluncurkan film “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” (2013). Film ini merupakan adaptasi dari novel dengan judul yang sama karangan Buya Hamka pada tahun 1938. Film ini dibintangi oleh para aktor papan atas seperti Herjunot Ali, Pevita Pearce, dan Reza Rahadian. Hal-hal ini membuat film garapan Sunil Soraya ini berhasil memenangkan berbagai penghargaan, diantaranya pada festival film Bandung 2014 memenangkan piala pemeran utama pria dan wanita terbaik, serta piala Antemas sebagai film terlaris pada tahun 2013.

Sebagai karya sastra, Buya Hamka menghadirkan novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” untuk mengkritik berlebihannya keterikatan masyarakat terhadap adat istiadat nusantara pada masa itu. Film ini mengisahkan hubungan sepasang kekasih yang berasal dari latar belakang yang amat berbeda. Sang lelaki, Zainuddin(Herjunot Ali) merupakan perantau yatim asal Makassar yang tak memiliki siapapun. Saat mencari ilmu ke Minangkabau, ia dipertemukan dengan gadis bernama Hayati (Pevita Pearce). Berkebalikan dari Zainuddin, Hayati merupakan gadis berlatar belakang kebudayaan yang kental. Seluruh hidupnya diatur oleh ninik mamak (paman)nya, yang juga merupakan kepala desa di wilayah tersebut. Perbedaan strata inilah yang menjadi konflik utama yang diangkat dalam film “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” hingga berujung pada tragedi mengerikan.

Konflik perbedaan kondisi sosial yang sejak awal memang sudah “terlarang” ini kian memanas dengan keberadaan orang ketiga, yang tak lain adalah Aziz (Reza Rahadian). Berbeda dari Zainuddin, Aziz bak pangeran bergelimang harta serta berasal dari keluarga terhormat dan tentunya lebih diterima oleh lingkungan Hayati. Sayangnya, mata keluarga Hayati sudah tertutup oleh adat istiadat hingga tak dapat melihat sifat asli Aziz yang senang berjudi dan main wanita. Hayati tak bisa memaksakan kehendaknya, mau tak mau ia menikah dengan lelaki pilihan keluarganya, Aziz. Pernikahan itu menenggelamkan Zainuddin dalam keterpurukan selama beberapa lama, namun akhirnya atas dorongan sahabatnya, Zainuddin bangkit dan meneruskan cita-citanya sebagai penulis ternama se-nusantara menuju kota Batavia lalu Surabaya.

Menurut Wikipedia, latar adalah tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah drama. Latar tak hanya merujuk kepada tempat, tetapi juga ruang, waktu, benda, pakaiam, sistem pekerjaan dan kehidupan yang berhubungan dengan tempat terjadinya peristiwa yang menjadi latar ceritanya. Tim produksi film “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” sukses menyajikan unsur ini. Latar tempat dan suasana nusantara pada awal abad ke-20 disajikan dengan detail. Kebudayaan Minangkabau yang amat kental ditonjolkan dari aksen yang digunakan dan akting para aktor utama maupun pembantu yang natural dalam penciptaan suasana kehidupan rakyat Minang. Hasilnya, penonton dapat merasa hadir dan hanyut dalam suasana adegan-adegan pada film itu.

Menurut Akhmad Saliman, dalam dunia sastra dialog berarti mimetik atau tiruan dari kehidupan sehari-hari. Karena merupakan adaptasi dari novel Indonesia klasik ternama, susunan kata pada skenario di film ini sangatlah indah dan puitis. Salah satu skenario terbaiknya ada pada bagian dimana Zainuddin dan Hayati berbincang sebelum Hayati dipulangkan ke daerah asalnya. Di sana, emosi Zainuddin terluapkan dengan sangat apik oleh mimik, intonasi, dan gestur yang diperagakan Herjunot. Tak hanya pada adegan tersebut, keseluruhan film berdurasi kurang lebih 150 menit ini sukses dibawakan dengan permainan emosi yang baik dan penciptaan suasana yang dramatis.

Mengingat film ini berlatar budaya minangkabau yang lekat akan nilai adat serta agama, sudah seharusnya tokoh Hayati ditampilkan dengan pakaian yang lebih tertutup. Di novelnya, Hayati dideskripsikan dengan islami dan sopan, namun saat diadaptasi menjadi film, tokoh Hayati sering mengenakan pakaian terbuka yang dirasa kurang pantas. Hal ini menuai kontroversi terutama dari masyarakat asli Minangkabau. Sejumlah masyarakat muslim Minang pada masa itu memprotes film ini karena dianggap tidak sesuai dengan kebudayaan Minang yang menjunjung tinggi ajaran agama dan norma kesopanan. Hendaknya tim produksi tak melewati hal ini.

Constantin Stanilavski mengemukakan beberapa prinsip keaktoran, salah satunya bahwa aktor harus berusaha berempati dengan karakter yang dimainkannya sehingga ia bisa menghasilkan interpretasi yang realistis dari karakter yang ia mainkan. Jadi, aktor yang baik adalah aktor yang bisa merasakan apa yang perannya rasakan serta menafsirkannya dengan baik, bukan hanya sekedar menghafal skenario. Sebenarnya, para pemeran film ini sudah baik secara keseluruhan, namun masih terdapat bagian mengganjal dimana Pevita sebagai Hayati terlihat seperti masih menghafal skenario sehingga tidak terlihat natural. Selain itu, Pevita hendaknya mendalami latihan berbicara menggunakan logat Minangkabau. Cara Pevita berdialog terkadang masih kaku dan kurang “minang”, padahal partner aktingnya sudah lihai dalam hal ini. Ini menjadi hal yang disayangkan mengingat skenario sudah tersusun dengan indah dan puistis, namun tak dibawakan dengan maksimal.

Kisah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck bukan sekedar kisah drama biasa, namun juga dikemas bersamaan dengan kritik sosial dan disampaikan dengan indah, kaya akan sastra Indonesia yang cantik sepanjang film. Ini menghasilkan perpaduan yang mengagumkan, dimana karya sastrawan hebat Indonesia diangkat menjadi film oleh produser ternama, dan dibintangi oleh para aktor profesional. Film ini memang menjadi film termahal yang pernah diproduksi Sunil Soraya, namun kemudian berbalik untung menjadi film terlaris pada tahun itu.

 

Penulis: Najla F

Editor: Fatiha