Sehubungan dengan keprihatinan kami atas maraknya permasalahan konflik agraria di tanah air antara rakyat melawan pihak swasta ataupun pemerintah. Kerapkali tidak dapat dipisahkan dari peran akademisi, yaitu baik dalam; sebagai dasar dikeluarkannya izin AMDAL atau sebagai saksi ahli dalam persidangan. Sehubungan dengan hal itu, kami Lembaga Pers Mahasiswa DIANNS (LPM DIANNS) Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, berniat menyelenggarakan diskusi film yang bertajuk “Samin VS Semen” dan “Alkinemokiye” yang mempunyai konteks permasalahan di tanah Papua dan Rembang. Untuk menyelenggarakan pemutaran dan diskusi film tersebut, kami membuat proposal yang kami serahkan tanggal 6 April 2015 kepada pihak Pembantu Dekan III (PD III), selaku otoritas yang berwenang menaungi organisasi kemahasiswaan. Namun, hasil tidak semulus seperti ketika kita memutar film secara pribadi di dalam kamar. Hambatan demi hambatan kami hadapi; mulai perizinan penyenggaraan acara yang berkelit, mempertanyakan substansi film, serta urgensi pemilihan tanggal yang menjadi polemik. Perlu dipahami pemutaran film yang kami ajukan pada tanggal 1 Mei 2015, secara sengaja mengambil momen yang bertepatan dengan hari buruh. Dalam konteks pemilihan waktu secara tegas kami sampaikan, bahwa kami tidak membawa muatan POLITIS APAPUN, termasuk penggiringan opini atau mobilisasi massa untuk melakukan aksi demonstrasi!Akan tetapi, kami hanya ingin kembali menciptakan ruang publik yang saat ini tengah mengalami krisis daya nalar kritis. Pada tanggal 16 April 2015, kami kembali dipanggil untuk menghadap ke PD III, perihal adanya perbaikan konten pengajuan proposal. Dalam pertemuan tersebut Sri Mangesti selaku PD III mempermasalahkan urgensi tanggal yang bertepatan dengan hari buruh. Ia tidak sepakat jika pemutaran dan diskusi film tersebut diselenggarakan pada tanggal 1 Mei, dengan dalih pada hari tersebut kegiatan perkuliahan diliburkan. Sekitar 5 (lima) menit kemudian, seorang lelaki yang kita ketahui memegang latar belakang sebagai dosen politik memasuki ruangan. Saat obrolan kami tengah berlangsung dengan Sri Mangesti, dosen yang bernama Luqman Hakim menyela pernyataan kami,ihwal urgensi film dan pelaksanaan pemilihan waktu. “Urgensi kalian apa? Melakukan bedah film ini? Lalu urgensi tanggal pelaksanaan kenapa harus pada 1 Mei?” ujar Luqman Hakim dengan nada tinggi. Pada saat itu, kami menjawab pertanyaan beliau, “Film ini untuk melihat realitas sosial, karena permasalahan tentang konflik agraria tidak menjadi agenda setting media-media mainstream,” tegas Esa Kurnia Alfarisi.
Pasca runtuhnya rezim otoritarian (Orba), seharusnya kita merayakan demokrasi dengan sukacita. Kebebasan berekspresi dalam ruang publik, kini dapat dinikmati oleh siapapun. Terlebih, dalam konteks pendidikan yang mengacu pada Undang-Undang Pendidikan Tinggi, Nomor 12 Tahun 2012. Dalam Paragraf 1 tentang kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan yang tercantum pada Pasal 8 Ayat (1) menyatakan, “Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Kemudian pada Ayat ke-3 (tiga), menegaskan bahwa; Pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di perguruan tinggi merupakan tanggungjawab Pribadi Sivitas Akademika, yang wajib dilindungi dan difasilitasi oleh Pimpinan Perguruan Tinggi (tebal huruf tambahan penulis). Selanjutnya, dipertegas oleh Pasal 9 Ayat (1), (2), serta (3). Ironisnya, film berjudul “Alkimonikiye” yang disutradarai oleh Dandhy Laksono (Watchdoc.co.id) mengalami penolakan. Luqman Hakim mengatakan, bahwa film tersebut lebih banyak mengandung unsur provokasi dibandingkan unsur informasi. “Saya tanya ke kamu, film ini lebih banyak mengandung unsur provokasi kan? Daripada unsur informasi, dan ini lebih banyak mudarat,” ujar Luqman Hakim secara tegas. Pada konteks saat itu kami merasa terintimidasi secara psikologis. Setiap kami menanyakan terkait alasan pelarangan izin pemutaran film secara rasional, kami selalu dibenturkan dengan alasan yang tidak jelas. “Kenapa juga kamu” ngotot? Apa urgensimu? Kenapa tidak aktivitas yang lain? Masih banyak aktivitas lainnya. Dunia ilmiah itu tidak ada pagarnya, masih luas mas. Urusan kita tuh bagaimana kamu punya rasionalitas yang bagus, visi yang bagus, konsep yang bagus, akhirnya adalah nilai akademik yang bagus,” kata Luqman Hakim dengan nada tinggi sekali lagi. Kami tidak pernah berpikir bahwa acara diskusi dan bedah film yang mempunyai tujuan untuk mengkonstruksi kembali diskursus ilmiah, nyatanya tidak mendapat dukungan oleh para aparatur birokrat kampus. Apa yang salah dari niat baik kami? Apa yang mesti ditakuti? Entah, kami tidak pernah mengetahui apa yang membuat mereka takut. Akan tetapi ada hal yang kami ketahui, bahwa realitas sosial adalah bilangan biner, hitam adalah hitam dan putih adalah putih.
Sebagai entitas akademika yang memiliki tradisi ilmiah dalam menjalankan tugas dan mengembangkan suatu cabang ilmu pengetahuan melalui penalaran secara terbuka. Oleh karena itu, kami sangat kecewa atas sikap Luqman Hakim dan para petinggi birokrat yang “terhormat”. Bila mengacu pada Pasal 13 UU Pendidikan Tinggi dalam Ayat (1) menyatakan, ”Mahasiswa sebagai anggota Sivitas Akademika diposisikan sebagai insan dewasa yang memiliki kesadaran sendiri dalam mengembangkan potensi diri di Perguruan Tinggi untuk menjadi intelektual, ilmuan, praktisi, dan/atau profesional. Selanjutnya, pada Ayat (2) menjelaskan bahwa “Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara aktif mengembangkanpotensinya dengan melakukan pembelajaran, pencarian kebenaran, ilmiah, dan/atau penguasaan, pengembangan, pengamalan suatu cabang ilmu pengetahuan, intelektual, praktisi, dan/atau profesional yang berbudaya. Kemudian, dilanjutkan pada Ayat (3), dan (4). Maka, sangat jelas diskusi dan bedah film yang kami gagas menggunakan kacamata akademisi untuk mencari kebenaran ilmiah. Melalui diselenggarakannya pemutaran film ini, kami juga berharap adanya penyadaran dalam taraf berpikir dan berprilaku para akademisi, sebagai entitas yang dipercayai memegang kendali keilmuan selayaknya harus berpihak kepada rakyat. Kami sangat berharap agar teman-teman bisa memberikan partisipasi, dukungan, dan dorongan kepada kami. Sekali lagi, kami hanya ingin mengembalikan secara ontologis posisi kami hari ini (Mahasiswa) dalam pilar-pilar demokrasi, yakni menjadi kontrol sosial pemerintahan.