“Entahlah, aku tak tega dengan Tari. Anak-anakku juga..”
“Katakan saja! Kalian menikah karena keluarga, lalu mengapa khawatir? Apa kau cinta istrimu?”
“Kami menikah memang karena keluarga, tapi Tari orang baik. Dia tidak pernah meminta sepeser pun dari ku”.
“Baguslah, dia bisa mandiri tanpa kau..”
Kuhisap rokok ku dalam-dalam, Nendra menatapku sinis.
“Ada apa? Kau marah padaku? Benar kan kau cinta istrimu itu? Kau cinta pun aku tak apa. Apa peduli ku!” Ujarku risih.
Nendra menarik nafas panjang tanpa menggubris pertanyaanku dia berkata,”Matikan rokokmu, Tari dan anak-anakku segera datang!”
Tak berapa lama mobil Tari sudah bersiap masuk garasi. Aku berlari membuka pagar dan menunggu Tari memarkirkan mobilnya dengan rapi di garasi. Anak-anak Nendra keluar dari mobil sambil berlari menghampiri Ayahnya. Disusul Tari mencium tangan suaminya. Ah, keluarga yang bahagia. Gumamku dalam hati.
Benar kata Nendra, Tari memang wanita yang baik. Saat Nendra membawaku ke rumah ini Ia berkata pada Tari bahwa aku butuh tempat menumpang dan akan membantu pekerjaan rumahnya. Tidakkah itu terasa ganjil? Tidak untuk Tari. Dia tersenyum dan mempersilahkan aku masuk.
Kadang aku merasa bersalah terhadap apa yang sudah aku lakukan pada keluarga kecil ini. Tak sampai hati aku menyakiti wanita dan kedua anak Nendra, tetapi apa daya. Perasaan ini sudah tidak dapat menepi.
Kadang terpikir untuk berhenti. Mengalah dan mencari kebahagiaan ku sendiri, namun aku dan Nendra telah melangkah sejauh ini.
”..kamu sudah mengalah begitu banyak, biarkan aku membahagiakanmu. Tetaplah di sisi ku..” Ucap Nendra pada malam itu, di rumah sakit setelah menunggui Tari melahirkan anak kedua mereka. Dadaku sesak, nafasku terasa berat. Ah, aku butuh rokok sekarang!
Lamunanku terbang bersama kepulan asap rokok di langit-langit kamar ku. Kau terlalu lemah! Bersamanya kau akan menjadi semakin lemah, sadarlah!
“Sudah batang ke berapa kau habiskan? Tidurlah!” Ujar Nendra yang terbangun dari tidurnya, membuyarkan lamunanku.
“Masih bangun?”
“Kau tidurlah! Kalau anak-anak ku terbangun aku akan pindah ke kamar mereka nanti..”
“Tari….”
“Di rumah orantuanya, Ibunya sakit”, Jawab Nendra cepat, sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
Sampai kapan terus seperti ini? Sampai kapan terus seperti ini? Bisikku dalam hati.
“Ucapmu.. Waktu itu.. Tentang membahagiakanku. Bagaimana kamu membahagiakanku?” Tanyaku bersama asap rokok yang mengepul.
“Aku…”
“Bagaimana jika aku menyerah? Tidak akan ada yang bisa menerima kita.. Aku menyerah…”
“Kau berpikir aku tidak mencintaimu?”
“Tidak, aku tahu kamu mencintaiku. Tapi aku juga tahu kamu juga mencintai Istrimu itu. Ada dia di matamu…”
“A.. Aku.. Aku hanya tidak bisa memilih, aku butuh kau tetapi juga menyayangi Tari..”
“Biarkan aku pergi…”
Bukan karena menyerah, tetapi aku tidak bisa melihat Tari di matamu. Seperti Tari melihat orang lain di matamu, aku. Biarkan aku pergi, biarkan Tari selamanya tak tahu bahwa wanita idaman lain yang ia takutkan adalah seorang lelaki.
Kepulan asap terakhir dari rokok ku menghantarkan rasa kantuk yang amat sesak.
Nendra menggenggam tanganku.
“Wirya, biarkan aku menghabiskan malam ini bersamamu..” Kata Nendra lembut. Aku mematikan rokok dan tidur di pelukan Nendra, hanya untuk malam ini.