Hari itu, aku mengenakan kemeja coklat kotak-kotak dengan celana kulot hitam. Kerudung segi empat yang terus tertiup angin dan sepatu sneakers yang terus mengeluarkan suara ketika berjalan. Waktu itu, cuaca mendung berangin, intinya tidak bersahabat. Kugendong tas ransel kecil bercorak daun bombay. Sambil melahap bakpao khas Pak Sumirto, aku berjalan menuju fakultas yang tidak pernah kurindukan.

Ketika selangkah dua langkah memasuki lingkungan fakultas, seseorang dengan kasarnya menepuk pundakku.

Anjink… sakit dodol,” keluhku, kemudian menatap orang itu.

“Sendirian aja, bareng dong keatasnya,” ujarnya cengar cengir.

Dia Fina, teman SD-ku yang entah kenapa takdir mempertemukan kita berdua di fakultas yang sama. Mungkin ini adalah cobaan dari Tuhan untukku yang harus belajar bersabar. Kami berdua berjalan menuju Gedung E, tempat dimana perkuliahan pagi akan dimulai. Kami menggunakan lift gedung untuk mencapai lantai 5. Sesampainya, entah kenapa Fina langsung berlari meninggalkanku.

“Boker bentar!” teriaknya tanpa rasa malu.

Dasar… pikirku. Padahal banyak pasang mata menatap ke arah kami berdua. Mungkin kami terlihat bodoh atau karena orang tidak tahu malu itu. Aku berjalan memasuki ruang kelas. Terlihat beberapa mahasiswa yang tidak asing tapi tidak kenal, melihatku masuk dan duduk di bangku baris kedua sayap kiri. Aku mengeluarkan buku catatan dan alat tulis. Kutaruh di meja samping dan sampingnya lagi untuk menandakan bahwa tempat itu sudah taken. Beberapa saat kemudian, seseorang datang. Kulambaikan tangan padanya, dan segera saja ia berlari kecil ke arahku.

“Udah lama? Makasi banyak loh udah dijagain tempat hehe,” ujar Risa sambil menggeser bangku dan mendudukinya.

Aku menggeleng, “Engga kok, baru aja, tadi bareng si Fina.”

Fina memasuki ruangan dan langsung duduk di samping Risa. Ia mengeluarkan buku catatannya dan tempat pensil Hello Kitty.

“Dari mana Fin?” tanya Risa.

“Biasa, perut aku sakit bet,” ujarnya sambil mengelus perutnya yang terlihat buncit karena masuk angin.

Kelas mulai ramai oleh mahasiswa. Banyak yang sedang ghibah, tertawa, makan, bahkan tik-tokan di belakang kelas. Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul 7 tepat, seharusnya perkuliahan sudah dimulai, namun dosen tak kunjung datang. Akhirnya kami semua berbincang mengenai tugas kuliah masing-masing. Hingga tiba pukul 07.30 perkuliahan belum juga dimulai.

“Ketua kelas, tolong chat dosennya dong. Ini emang masuk apa enggak ya?” tanya seseorang dengan setelan baju hijau daun.

“Iya ini udah aku hubungin bapaknya tapi belum bales. Bentar aku chat lagi,” ujar ketua kelas yang berpakaian setelan abu-abu dan kacamata bulat hitam.

Setelah itu kami menunggu sembari melakukan hal lain, seperti scroll Instagram atau stalking media sosial mantan. Lama kami menunggu, tepat pukul 8, pintu ruang kelas pun terbuka. Tentu saja Pak Dosen datang sembari mengusap keringatnya yang bercucuran. Terlihat ia sedang menggendong ransel hitam besar dan membawa tumpukan kertas.

“Pagi,” sapanya dengan nafas terengah-engah.

“Pagi, Pak Bara,” ucap kami serempak.

“Maaf ya tadi bapak telat gegara harus mengantar anak sekolah dulu,” ucap Pak Bara sambil mengeluarkan laptopnya dan menyambungkan ke proyektor. Pak Bara kemudian memberikan kuliah mengenai gaya kepemimpinan. Lama kuliah berjalan, tiba-tiba Pak Bara menanyai mahasiswanya.

“Aden, nanti waktu udah lulus kuliah mau kerja dimana?” tanya Pak Bara.

“Saya mau kerja di Pemerintahan, Pak,” jawabnya dengan bangga. Pak Bara hanya mangut mangut dan bertanya kembali, “Memang bisa apa kamu nanti waktu kerja di Pemerintahan?”

“Bisa Nilep, Pak,” sahut yang lain diikuti tertawaan teman-teman kelas.

Pak Bara hanya menggeleng-geleng, kemudian bertanya kepada yang lain, “Habis lulus kuliah mau kerja apa, Fina?”

Fina panik karena tiba-tiba diberikan pertanyaan yang bahkan dia belum tau, mau melakukan apa kelak setelah lulus kuliah.

“Anu Pak… eee…mau jadi PNS,” jawab Fina sambil malu-malu.

“Kenapa mau jadi PNS?” Pak Bara memiringkan kepalanya.

“Soalnya gajinya besar, Pak!” celetuk yang lain. Pak Bara hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah mahasiswanya.

Risa tiba-tiba berbisik ke arahku, “Kukira cita-citanya jadi komedian.” Aku langsung mencubit pinggang Risa.

“Kalau Aulia?” Pak Bara melemparkan pertanyaan kepadaku.

Aku dengan spontan menjawab, “Setelah kuliah Saya mau nikah sama orang kaya, Pak.”

Terdengar suara gelak tawa teman-teman kelas. “Kamu mau cari sugar daddy, Ul?” tanya seseorang dengan setelan pink yang tidak kukenal.

“Bukan gitu,” desahku dengan menghembuskan nafas panjang. Kemudian Pak Bara menyuruh anak-anak untuk diam dan mendengarkan rasionalitasku menjawab begitu.

“Aku mau nikah dengan orang kaya, biar nanti suami bisa kasih modal untuk saya usaha,” ujarku diiringi dengan keheningan ruang kelas.

“Aul nanti mau usaha apa?” Tanya Pak Bara. Aku langsung menjawab, “Jualan makanan pak biar nanti bisa buka cabang di mana mana,”

“Mengapa kamu tidak ingin bekerja di perusahaan atau mungkin jadi PNS seperti yang lain?” Tanya Pak Bara.

“Itu karena saya yakin pak, di negara kita sekarang banyak yang lulus sarjana tapi ngga jadi apa apa dan menganggur. Daripada begitu, bukankah lebih baik membuat lapangan pekerjaan untuk mereka?”

Suasana di kelas terasa canggung. Keheningan, mendengarkan ku berbicara.

“Sekarang mahasiswa condong untuk mencari pekerjaan bukan membuat pekerjaan. Memang sulit tapi, itulah yang membuat orang hebat berbeda dari orang-orang yang lain.”

Pak Bara hanya manggut-manggut mendengarkan ocehan ku tentang masa depan dan kondisi negara.

“Ada benarnya yang dibicarakan Aulia, sekarang sarjana setelah lulus bisa jadi pengangguran. Bayangkan ada berapa ribu mahasiswa yang lulus dalam setahun dan memperebutkan hanya puluhan posisi untuk pekerjaan,” kata Pak Bara sambil berjalan-jalan di depan bangku kami. “Saya akan sedih jika anak didik saya tidak jadi apa apa setelah lulus kuliah nanti,” ujarnya. Kelas menjadi hening.

“Kalau dari Aulia sendiri, kira-kira selain sempitnya lapangan pekerjaan, apa yang membuat mahasiswa susah untuk mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah?” tanya Pak Bara kepadaku.

“Itu… tergantung si Pak, ada yang salah dari mahasiswanya, ada juga yang salah dari cara pengajar dalam mengajar,” jawabku enteng. Semua terkejut mendengar empat kata terakhir yang kulontarkan.

“Hmm, mungkin bisa dijelaskan,” kata Pak Bara dengan kedua tangan disilangkan di depan dada. Fina dan Risa hanya bertatapan dan berpikir jika aku sudah gila.

“Yang pertama dari mahasiswa ada yang tidak sesuai dengan kriteria pekerjaan yang dilamar, atau juga dari skill dan tidak mengerti jobdesk dari jurusannya apa…”

“Lalu yang kedua?”

Aku menghela nafas, “Yang kedua dari pengajar, ada beberapa pengajar yang di kelas hanya bercanda dan tidak menerangkan materi. Memang kita dituntut untuk mandiri tapi, bukankah pengajar juga dituntut untuk memberi ilmu?” jawabku.

Pak Bara tertawa lepas. Terlihat lesung pipinya membuat wajahnya semakin muda. “Lalu, kriteria pengajar yang seperti apa yang baik menurut Aulia?”

“Mungkin bisa dimulai dari disiplin waktu sih, Pak,” jawabku dengan memasukkan alat tulis dan buku kedalam tas.

Semua terdiam canggung namun segera gelak tawa Pak Bara memecah keheningan pagi itu.