Pendidikan merupakan pondasi utama dalam menciptakan masyarakat yang berdaya, mandiri, dan berkontribusi bagi pembangunan negara. Namun, ironisnya, pemangkasan anggaran pendidikan yang mencapai Rp 8,035 triliun dari Rp 33,545 triliun menjadi Rp 30,701 triliun justru menjadi bukti bahwa sektor pendidikan belum dianggap sebagai prioritas utama. Di Indonesia, alokasi anggaran pendidikan seharusnya sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu minimal 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja Nasional) APBN dan (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) APBD. Sayangnya, realisasi di lapangan sering kali tidak mencerminkan komitmen ini, dengan berbagai bentuk pemotongan, pengalihan, atau ketidakefisienan penggunaan anggaran yang justru merugikan akses dan kualitas pendidikan itu sendiri.

Apakah kecerdasan masyarakat begitu membebankan pemerintah?

Faktanya, pendidikan berkualitas akan menghasilkan individu yang kritis dan mampu menuntut kebijakan yang adil. Namun, alih-alih melihat hal ini sebagai investasi jangka panjang, seringkali justru ada kecenderungan untuk membatasi akses pendidikan tinggi bagi kelompok masyarakat tertentu. Pendidikan tinggi, yang seharusnya menjadi alat mobilitas sosial bagi kelas menengah ke bawah, malah semakin sulit diakses akibat kenaikan biaya kuliah, kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tidak proporsional, serta minimnya beasiswa bagi mereka yang benar-benar membutuhkan. Jika pendidikan adalah kunci untuk memutus rantai kemiskinan struktural, mengapa negara justru menutup gerbang tersebut?

Apakah kecerdasan masyarakat begitu menakutkan bagi penguasa?

Sejarah telah menunjukkan bahwa masyarakat yang terdidik adalah masyarakat yang sulit dikendalikan oleh kepentingan segelintir elit. Mereka mampu menganalisis, mempertanyakan, dan menuntut transparansi serta akuntabilitas dalam pemerintahan. Bukan tidak mungkin, ada ketakutan bahwa semakin banyak rakyat yang cerdas, semakin sulit bagi penguasa untuk mempertahankan kebijakan yang tidak pro-rakyat. Maka, ketika akses pendidikan dipersulit, ketika kebijakan dibuat semakin eksklusif bagi segelintir kelompok, kita harus bertanya: apakah ini kebetulan atau strategi?

Terlepas dari apakah ini hanya siklus yang melahirkan “pahlawan kesiangan,” persoalan pendidikan tidak boleh dipandang sebagai alat politik semata. Pemerintah harus berlaku adil sejak dalam pikiran. Mempermainkan anggaran pendidikan bukan hanya tindakan keliru, tetapi juga pengkhianatan terhadap masa depan bangsa. Pendidikan bukan sekadar angka dalam laporan tahunan; ia adalah investasi bagi generasi mendatang, bagi kesejahteraan rakyat, dan bagi keberlanjutan negara itu sendiri.

Penulis: Adinda S
Editor: Tata