Notice: Function WP_Scripts::localize was called incorrectly. The $l10n parameter must be an array. To pass arbitrary data to scripts, use the wp_add_inline_script() function instead. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 5.7.0.) in /home/diannsor/public_html/wp-includes/functions.php on line 5866
LPM DIANNS

Author: LPM DIANNS

Bolehkah?

Penulis : Valentinez Hemanona Black coffee”, kataku setelah membolak-balikkan menu. Pelayan itu tersenyum ramah. “Pencinta kopi?” Tanyanya sambil mencatat pesanan. Aku tersenyum menggelengkan kepala. Tiba-tiba mataku terpaku pada laki-laki yang baru saja memasuki cafe ini. Dengan cepat aku menambahkan machiatto ke dalam pesanan. “Aha, pesanan pacar rupanya”, ujar pelayan mengambil menu dan berlalu sambil tersenyum. “Ada apa kamu sama pelayan itu?” Tanyamu sambil menarik kursi di hadapanku. “Biasa, pencitraan cafe baru” “Citra, you really don’t know how beautiful you are, do you?” “Tapi dia tahu pesanan black coffee-ku untuk kamu”, dan kamu tersenyum malu. Memikat. Seperti biasa. Anganku berlarian pada kenangan itu.. Kita bersekolah di SMA yang sama. Saat itu kamu keluar dari ruangan kecilmu itu dengan ceria, wajahmu bersih dan tersenyum. Beberapa bulir air masih tersisa di rambut cepakmu. Sama sekali tidak terpikir dalam benak ku untuk tertarik padamu, tetapi Tuhan selalu punya cara mempertemukan kita. Aku ingat saat pertama kali kamu menyebutkan namamu. Ketika aku bingung setengah mati mencari kalung peninggalan Mama, kamu datang menghampiriku. “Aku Dirga, ini punyamu kan?” Aku menghela nafas lega, mengambil kalung itu darinya. Dirga memperhatikanku melilitkan kalung itu di pergelangan tanganku. “Makasih ya..” Kataku, tersenyum tulus. Dirga balas tersenyum dan kembali bertanya. “Kenapa kalungnya di pake di tangan?” “Supaya lebih deket ke urat nadi” “Di kalungin aja, supaya lebih deket di hati..” Ujarmu mengulurkan tangan dan tetap tersenyum. Aku membalas uluran tangannya,”Citra..”...

Read More

Ada Dia Di Matamu

Penulis : Valentinez Hemanona “Jadi, sampai kapan kita harus menyimpan ini?” Tanyaku. “Entahlah, aku tak tega dengan Tari. Anak-anakku juga..” “Katakan saja! Kalian menikah karena keluarga, lalu mengapa khawatir? Apa kau cinta istrimu?” “Kami menikah memang karena keluarga, tapi Tari orang baik. Dia tidak pernah meminta sepeser pun dari ku”. “Baguslah, dia bisa mandiri tanpa kau..” Kuhisap rokok ku dalam-dalam, Nendra menatapku sinis. “Ada apa? Kau marah padaku? Benar kan kau cinta istrimu itu? Kau cinta pun aku tak apa. Apa peduli ku!” Ujarku risih. Nendra menarik nafas panjang tanpa menggubris pertanyaanku dia berkata,”Matikan rokokmu, Tari dan anak-anakku segera datang!” Tak berapa lama mobil Tari sudah bersiap masuk garasi. Aku berlari membuka pagar dan menunggu Tari memarkirkan mobilnya dengan rapi di garasi. Anak-anak Nendra keluar dari mobil sambil berlari menghampiri Ayahnya. Disusul Tari mencium tangan suaminya. Ah, keluarga yang bahagia. Gumamku dalam hati. Benar kata Nendra, Tari memang wanita yang baik. Saat Nendra membawaku ke rumah ini Ia berkata pada Tari bahwa aku butuh tempat menumpang dan akan membantu pekerjaan rumahnya. Tidakkah itu terasa ganjil? Tidak untuk Tari. Dia tersenyum dan mempersilahkan aku masuk. Kadang aku merasa bersalah terhadap apa yang sudah aku lakukan pada keluarga kecil ini. Tak sampai hati aku menyakiti wanita dan kedua anak Nendra, tetapi apa daya. Perasaan ini sudah tidak dapat menepi. Kadang terpikir untuk berhenti. Mengalah dan mencari kebahagiaan ku sendiri, namun aku...

Read More

Suara Kecil Pekerja Pena

Penulis : Anita Aprilia Derap langkahnya terkesan arogan dan dibuat-buat. Aku hanya sebagai anak dari induk semang yang tunduk dalam setiap arahan dari mulutnya. Selepas ini bicaraku pasti mendapat cibiran dari orang-orang penting ujung sana. Belum lagi tugasku selesai aku hanya dapat bersimpuh lekang di kaki orang-orang itu. Mulutku ditutup, tanganku dibiarkan dalam ikatan teramat kuat. Dipaksa untuk berbicara dalam rekayasa cerita yang dibuat dalam mata obyektifitas sang induk semang. Aku hanya tertunduk menunggu saat yang tepat untuk menghakiminya. Menghakimi lewat goresan-goresan tinta hitam yang aku buat untuk menyadarkan mereka bahwa aku dan kami adalah bagian dari mereka. Aku sungguh tak kuasa. Sapuan pena tinta hitam ini sudah merasa digerakkan oleh orang-orang itu. Aku sungguh tak mau mengalah dan tak akan bisa berpasrah dengan keadaan. Lantanglah suaraku saat ini. Corongku sudah tersumbat oleh obsesi-obsesi gila orang di luar. Terhalang dalam kekacauan di depan pintu masalah. Percuma mengumbar aroganisme jikalau gertakan itu hanya sebuah imajinasi pencitraan. “Kau buat kandangmu sendiri dan kau hancurkan dengan sekali sapuan angin yang kau lontarkan” aku bergumam. Dan hanya itu yang dapat kuperbuat. Di tempat ini, tanah peraduan ini. Aku menjelma menjadi seorang serdadu perang. Bukan perang melawan kekacauan tapi perang melawan kemunafikan. Mulutku kembali terkunci tapi yang jelas tanganku tetap bergerak mengusik kehidupan sekitar dengan celotehan kecil sekat garis bermakna. Jeritan ini tak perlu berakhir dalam gamang ketidakadilan. Perlu sentuhan lembut untuk melunakkan segalanya....

Read More