Penulis : Zendy Titis D. A

Aku berangkat kerja.

Kumasuki lapis demi lapis pagi seiring dengan kayuhan pedal sepedaku. Dulu, jalanku sepagi ini bukanlah hiruk pikuk lalu lintas yang macet. Melainkan hamparan sawah royo-royo[1] dengan kabut yang setengah terangkat. Kini, harus kurelakan kenangan sepuluh tahun silam itu. Mereka telah menguap bersama harapan terakhir yang tersisa di hati perempuan tua sepertiku. Aku harus mengikhlaskan sejuk silir padi yang setiap hari membantu napas kami. Aku dan seluruh petani yang dulu menggantungkan hidupnya pada persawahan di desa kami.

Aku terus mengayuh, sesekali kurasakan kontraksi pada perutku. Setelah keberangkatan suamiku ke Malaysia, aku tak menyangka Tuhan masih mengizinkanku memiliki keturunan. Mengingat bahwa usiaku kini telah menginjak kepala empat dan ini kehamilanku yang pertama. Padahal kami telah bersiap batin dan rohani ketika tak ada yang sanggup meneruskan silsilah keluarga.

Sepanjang lintasan roda yang bergulir pelan, kupegangi perutku seolah menunjukkan pada anakku bagaimana tempat ia dibesarkan kelak. Orang-orang di atas kendaraannya masing-masing menutup hidung. Sesekali tangan mereka mengibas-ibas ke depan. “Nak,” aku berbisik tanpa suara pada janin di rahimku. “Kotamu adalah gembong asap. Asap yang mengepul 24 jam penuh dari cerobong raksasa di suatu tempat di kota ini.”

Sepuluh tahun silam, tidak seperti ini.

“Pak, apa benar sawah kita itu mau dibeli orang seharga ratusan juta?” tanyaku pada suamiku sepuluh tahun silam.

“Menurut Ibu gimana?” Suamiku jarang sekali menjawab dengan ya atau tidak. Ia terlalu bimbang dengan pilihan yang saklek[2], karena itu mencerminkan ketegasan. Sedangkan ia bukan orang yang tegas.

Kugelengkan kepalaku sembari menciduk nasi untuk sarapan kami. “Ya jangan to, Pak. Itu kan sumber ingurip[3] kita. Orang-orang kota itu mana ngerti urusanwong ndeso[4]. Kalau cuma bangun pabrik, kan nggak harus ke desa kita yang kecil ini. Bapak dong, cegah niat mereka itu.”

“Ndak tahu lah, Bu,” pungkas suamiku yang dilanjutkan dengan suapan nasi ke mulutnya.

Perbincangan kami diakhiri dengan suara cap cap nasi hangat di mulut yang tergilas geraham. Padi yang dipanen sendiri selalu terasa lebih nikmat di lidah kami yang orang tani.

Tapi sekarang kami adalah buruh pabrik. Jadi rasa semua nasi sama saja.

Dulu, begitu orang-orang berpakaian licin dengan rambut klimis-klimis itu merampas sawah kami, ada banyak perlawanan di desa. Namun, semenjak tersebar berita kematian Cak Minto yang menghebohkan seluruh kampung, acara kumpul warga tiap sore untuk menolak pembangunan pabrik tak ada lagi. Orang yang mengobarkan semangat kami untuk melawan sudah mati. Para lelaki, termasuk suamiku, terlalu takut bernasib sama seperti Minto. Orang yang uratnya bermunculan ketika meneriakkan kata “Lawan!” itu mayatnya ditemukan di bawah tumpukan damen[5]yang hendak dibakar.

Aku dan suamiku melaporkannya ke kantor polisi terdekat, karena saat itu tak ada polisi yang datang. Tapi kami malah disuruh menguburkan Cak Minto sesuai syariat. Agar nyawanya tenang, kata mereka. Bagaimana kami bisa menenangkan yang mati, sementara kami yang masih hidup, sangat jauh dari ketenangan. Ketika sawah lenyap, sama saja nyawa kami yang direnggut. Kejadian ini tidak muncul di koran-koran. Padahal selalu dipampang besar-besar berita kematian orang sipit-sipit yang tidak kami kenal itu, meskipun ada fotonya. Dan kebanyakan mereka meninggal karena sudah waktunya. Bukan kematian abnormal seperti Cak Minto.

“Rokok, rokok….” Seorang anak yang kukenal sebagai Aji berteriak-teriak di antara himpitan kendaraan di lampu merah. Aji adalah anak Cak Minto. Tentulah ia hanya bisa menjajakan rokok, karena hanya itulah yang ada di daerah kami sekarang. Perusahaan rokok telah menyulap tempat ini. Tempat yang dulu burung-burung tidak akan kekurangan makanan, menjadi tempat yang mencekik makhluk hidup. Kemudian kami terpaksa menjadi buruh di pabrik rokok. Aku pun sama. Semenjak tak ada lagi pilihan yang bisa kami ambil, kecuali ikut rombongan transmigran atau TKI ke negeri seberang. Seperti yang suamiku lakukan. Atas paksaanku, ia akhirnya mau menjadi TKI. Jika tidak, maka akulah yang berangkat.
Ini bulan keempat dan suamiku belum tahu bahwa ia akan menjadi seorang Bapak. Tetangga yang cukup mapan menawariku handphone untuk menelepon rumah majikannya. Tapi aku tak mau lagi membebaninya. Berita ini pastilah akan mengusik pikirannya selama sembilan bulan karena tak dapat berbuat apa-apa. Biarlah satu bulan ke depan aku menunggu kepulangannya.

Si jabang bayi dalam perutku kian hari kian berat. Aku tak mau ia bernasib sama seperti Aji.

“Sabar ya, Nak,” elusku padanya. “Kowe[6] bakal jadi orang besar.” Untuk itulah aku berangkat kerja setiap pagi. Bagiku semua tak berarti apa-apa kecuali detik ketika aku mendengar tangisan kerasnya di ruang bersalin nanti.

Kuparkirkan sepedaku. Aku melangkah menuju ruang ganti karyawan. Kemudian mulai melintingi tembakau yang akan dihirup oleh lebih dari separuh jumlah laki-laki di dunia. Mungkin termasuk juga suamiku. Beginilah rutinitasku tiap hari. Menjadi buruh pabrik rokok dengan upah ‘pokok cukup kanggo tuku beras[7]’. Meski begitu, aku bertahan, karena hanya di sini yang membolehkan orang hamil bekerja.

“Ti! Cepetan! Kalau kamu lelet gitu, kita semua ikut rugi!”

Kami bekerja berkelompok dengan target waktu dan jumlah orderan tertentu. Biasanya kutebus ketertinggalanku dengan jatah jam rehat atau lembur.

“Siti! Itu lintinganmu menceng semua. Gimana sih kamu kerja? Kalau ini hasilmu diitung buat bayaranmu sendiri sih gak masalah. Tapi ini kita grup…. Itunganmuitungan[8] kita juga. Bayaranmu bayaran kita juga.”

Aku bertahan oleh cacian dan makian mereka. Kami sama-sama hidup untuk menghidupi. Kebanyakan dari kami bernasib serupa, sawah dibeli murah, ditinggal suami, dan harus menjadi buruh pabrik. Karena itulah aku mengerti kenapa kami, para wanita, akan melakukan apa pun untuk mengisi perut anak-anak, dan mungkin juga perut suami kami. Tak ada lagi yang bisa kami tekuni di kota yang kini bukan milik kami lagi ini. Apakah karena kami tidak berdasi dan berpakaian necis, lantas kami tak berhak punya kota? Padahal jika diibaratkan, kamilah yang mengumpulkan bahan baku kota ini dan membangunnya dari petak ke petak.

“Siti nanti ndak rehat ya,” suara tetanggaku yang kukenali menjabat sebagai supervisor menyeru dari belakang.

Aku menghadap ke arahnya. Sambil memegangi perutku, aku bertanya, “Kok ngoten[9], Yu[10]? Eh, Bu?”

“Itung dewe lintinganmu kae[11]. Separo wae siktangeh[12].”

Aku mengangguk sopan. Kutelan ludahku banyak-banyak untuk menggelontor kering tenggorokan yang sedari tadi mendera. Kulirik kanan kiri sembari melanjutkan pekerjaan melinting. Ada beberapa orang juga yang tidak meninggalkan kursi untuk ke kantin.

“Oh ya Sit,” Yu Ani memanggilku lagi. “Wetengmu umurpira saiki?[13]” tanyanya.

“Empat bulan, Bu.”

“Pas tujuh bulan nanti, kamu ndak usah masuk.” Lantas ia berlalu.

Setitik keringat menetes di atas kertas rokok yang kubentangkan. Cepat-cepat kulap bulir-bulir yang menempel di pelipis dan sekujur tanganku dengan lengan baju. Entah apa yang membuat produksi keringatku meningkat. Padahal yang kurasakan saat ini adalah dingin. Tanda-tanda orang mau masuk angin. Aku langsung izin ke toilet untuk mengoleskan balsam agar keringat dingin ini urung menjadi masuk angin. Saat ini sakit adalah satu-satunya hal yang kuhindari karena itu akan mengulur hari kerjaku jadi makin lama.

Saat berdiri, seorang perempuan di belakangku yang kutaksir umurnya baru 15 tahun menegurku, “Mbak, kamu mens?”

Aku bingung mendapati celanaku sudah diwarnai oleh merah darah. Aku tidak mungkin mens, aku sedang hamil. Tak butuh sedetik hingga aku sadar bahwa janinku kenapa-kenapa. Duka atas kenyataan itu kemudian disusul dengan nyeri di pusat rahimku. Segera kupegangi selangkanganku karena darah itu tak berhentinya menetes. Berharap dengan begitu aku bisa mencegah proses yang mungkin akan membuatku kehilangan keturunan.

“Mbak Siti! Mbak Siti pendarahan!” Kudengar perempuan tadi menyeru-nyerukan namaku. Sementara aku sendiri kembali duduk sambil memegangi perut dan selangkanganku.

Ia menghampiriku tergopoh-gopoh sambil terus meneriakkan namaku. Beberapa orang berlarian. Ada yang menyuruh untuk memanggil Yu Ani, ada yang menyuruh untuk langsung saja menelepon rumah sakit.

Sementara pada calon bayiku, kuminta untuk tetap bergelayut pada ari-ari sebisa mungkin. Dan kugaungkan maaf berulang-ulang padanya. Karena aku tak bisa menjaganya dengan baik. Karena aku tak mencoba melawan Yu Ani dan semua perampok di tanah kelahiran kami. Kusebut-sebut juga suamiku yang tak tahu menahu tentang kehamilanku. Kulontarkan juga maaf padanya. Kini aku merindukan mereka. Bayiku yang kubayangkan sedang kuelus dalam dekapan dan suamiku yang sudah jarang kubuatkan sarapan.

Sirine ambulans semakin menjagaku pada keadaan antara sadar dan tidak. Yang kuingat kemudian adalah tubuhku yang dibopong tangan-tangan tak berotot namun mampu menopang semua beban yang dipikulnya. Tangan itu milik buruh-buruh perempuan di sini. Aku berharap bayiku nanti sekuat mereka. Kalaupun ia adalah lelaki. Bagiku para perempuan di sini sama seperti guru besar, profesor, presiden, dokter, hakim, dan semua orang berpangkat lain yang juga bekerja untuk hidup dan menghidupi. Mereka hanya tidak muluk-muluk.

Aku terbangun setelah mimpi bermain dengan anakku yang 5 tahun. Hampir aku lupa kejadian di pabrik tadi jika saja aku tidak meraba perutku yang sudah rata.

“Dia sudah pergi ke surga, Bu,” bisik seorang lelaki di sampingku sambil meraih kepalaku ke dadanya. Ia menggigil dan aku pun sama. Aku menggumamkan maaf berulang-ulang di sela isak tangisku.

“Ndak pa-pa, ndak pa-pa,” gumamnya juga berulang-ulang.