Judul Film : Kartini: Princess of Java

Sutradara : Hanung Bramantyo

Genre : Biografi, Drama

Produser : Robert Ronny

Tahun : 2017

Durasi : 158 menit

Setiap perjuangan lahir dari keinginan untuk meraih mimpi. Ketidakadilan yang mengharuskan kita untuk menerima takdir yang mencoba mengikat kita dari kebebasan. Pernahkah kita memikirkan untuk melawan semua itu? Kartini, sosok yang selama ini menjadi panutan bagi para wanita di Indonesia. Seperti apa perjuangannya dalam melawan ketidakadilan yang diberikan kepadanya? Kartini: Princess of Java (2017) merupakan film yang menceritakan kisah mengenai pergerakan Raden Adjeng Kartini dalam memperjuangkan hak-hak para perempuan di masa lalu yang direnggut oleh tradisi dan budaya. Kartini (Dian Sastrowardoyo), merupakan seorang gadis keturunan bangsawan ningrat meski lahir dari ibu yang bukan seorang bangsawan ningrat, yakni Ngasirah (Christine Hakim).

Film dimulai dengan adegan Kartini kecil yang tengah memberontak lantaran dipaksa untuk tidur di rumah utama keluarga Bupati Jepara yang merupakan ayahnya sendiri. Kartini yang ingin tetap tinggal bersama ibunya di rumah belakang terus menangis sehingga membuat ayahnya memberikan satu kesempatan terakhir kepadanya untuk tidur bersama ibunya. Kemudian, kisah dilanjutkan dengan menceritakan kartini yang mulai dipingit saat memasuki masa pubertasnya. Dalam tradisi, seorang putri bangsawan ningrat harus terus berada di dalam rumah untuk mendapatkan pelajaran tata krama perempuan sampai seseorang datang untuk meminangnya.

Sosok Kartini digambarkan memiliki pemikiran terbuka dan sadar tentang adanya ketidaksetaraan hak bagi kaum perempuan dan laki-laki. Saat itu, perempuan tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan setinggi-tingginya seperti laki-laki. Kartini yang ingin terus belajar seperti harapan ibunya, terus memikirkan bagaimana cara melawan tradisi yang mencoba menelannya. Hingga suatu hari, kakak Kartini, Sosrokartono (Reza Rahadian), menyadari pemikiran adiknya dan memberikan kunci lemarinya sebelum dia berangkat ke Belanda. Dengan kalimat “Jangan biarkan pikiranmu dipenjara.” dan kunci lemari dari Kartono, Kartini mendapatkan buku-buku yang akhirnya merubah rasa takut dan kegelisahannya menjadi semangat dan harapan untuk merubah takdir.

Kartini bersama kedua adik perempuannya yang sama-sama dipingit, Kardinah (Ayushita) dan Roekmini (Acha Septriasa), memulai perjuangan untuk meraih hak-hak kaum perempuan dalam mendapatkan pendidikan yang layak. Dengan bantuan seorang bangsawan Belanda, Stella Zeehandelaar, Kartini dapat menerbitkan tulisan-tulisan yang berisikan pemikiran-pemikirannya hingga mendapat sorotan dan pujian dari para bangsawan Belanda.

Seiring dengan keberhasilan dari tulisan-tulisannya, Kartini juga membantu perajin ukiran kayu di Jepara untuk menjual hasil ukirannya. Kartini bersama Kardinah dan Roekmini kemudian membangun tempat belajar bagi para perempuan di Jepara agar mereka tetap dapat memperoleh pendidikan yang layak. Di tengah upaya kakak laki-laki tertuanya, Slamet (Deni Sumargo), yang mencoba menghalanginya serta gunjingan dari para bangsawan ningrat lainnya, tidak melunturkan semangat Kartini dalam menggapai impian.

Konflik dimulai ketika Wakil Bupati Pemalang datang untuk meminang Kardinah agar menjadi istri keduanya. Dengan tangisannya, Kardinah mencoba membujuk ayahnya untuk menolak lamaran tersebut. Pada akhirnya dalam ketidakberdayaan melawan tradisi, Kardinah tetap menikah dengan Wakil Bupati Pemalang.

Di tengah ketakutan Kartini dan Roekmini akan perjuangan mereka yang berakhir sia-sia, ibu mereka yang merupakan istri Bupati Jepara, Raden Adjeng Moeriam, justru mulai memisahkan mereka. Moeriam ingin agar mereka tetap pada garis takdirnya sebagai putri bengsawan ningrat yaitu tetap diam dipingit menunggu seseorang untuk meminang. Puncaknya, ketika Kartini mengajukan beasiswa bersekolah di Belanda, datang lamaran dari Bupati Rembang yang memintanya menjadi istrinya.

Akting pemain di film ini terutama Dian Sastrowardoyo sebagai pemeran Kartini sudah mampu membawakan karakternya dengan baik. Di dalam film, adegan Kartini membaca buku dan surat dari Kartono ditampilkan dengan adegan visualisasi yang menyajikan imajinasi Kartini selama membacanya. Hal ini membuat penonton dapat lebih memahami bagaimana isi pemikiran kartini. Hanya saja, penggunaan bahasa di film ini terkesan setengah-setengah. bahasa jawa yang kurang dan dicampur-adukkan dengan bahasa Indonesia membuat kesan bangsawan ningrat zaman dulu kurang terasa.

Film Kartini; Princess of Java berhasil membawakan sebuah kisah yang menginspirasi tentang betapa sulitnya kehidupan para perempuan dahulu. Bahkan ketika Kartini harus merelakan mimpinya bersekolah di Belanda, tulisan dan pemikirannya memberikan dampak kepada kesejahteraan perempuan di masa itu. Kita sebagai penerus bangsa dapat mengambil pelajaran dengan meneruskan perjuangan beliau untuk mendapatkan kesetaraan gender di masa sekarang. Karena yang bisa melawan takdir kita hanyalah kita sendiri.

Penulis : Nur Aida Fitria

Editor: Nasywadhiya

Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Kartini_(film)