Penulis : Zendy Titis
Judul : Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela
Penulis : Tetsuko Kuroyanagi
Penerbit : Gramedia
Jumlah halaman : 272 halaman
Terbit : 2003
Jenis buku : Novel autobiografi
“ Sekolah yang membebaskan merupakan dambaan banyak orang. Sayangnya, sistem pendidikan formal di negeri kita masih mengikuti aturan-aturan konvensional. Taman kanak-kanak hingga sekolah dasar memberikan hal yang sama kepada murid-muridnya. Padahal, mereka semua berbeda. Tiap-tiap dari mereka memiliki bakat yang harus diberikan porsi tersendiri agar berkembang. Seperti cerita dalam novel yang ditulis pengarangnya sebagai memoar masa kecilnya ini.
Totto-chan, tokoh utama dalam buku ini, baru kelas satu ketika dia dikeluarkan dari sekolahnya. Ia dikeluarkan karena tingkah lakunya membuat guru-gurunya kehilangan kesabaran. Misalnya ketika ia merasa tertarik dengan keberadaan laci di meja kelasnya. Totto-chan yang periang dan selalu penasaran, ratusan kali membuka dan menutup laci mejanya sambil memasukkan atau mengambil sesuatu. Lalu di lain waktu, ia berdiri di depan jendela untuk memanggil pemusik jalanan. Begitu pemusik itu pergi setelah memainkan lagu, ia tetap berdiam di jendela, menunggu pemusik yang lain atau berbicara dengan seekor burung. Saking hilangnya akal untuk menghadapi Totto-chan, kepala sekolah memanggil Mama Totto-chan untuk memberitahukan bahwa anaknya dikeluarkan dari sekolah. Meskipun merasa khawatir, Mama tetap mencarikan Totto-chan sekolah yang baru. Sekolah yang mau menerima putrinya.
Tomoe Gakuen adalah sekolah dasar yang dibangun di enam gerbong kereta api. Dipimpin oleh Sosaku Kobayashi sebagai kepala sekolah, Tomoe menerapkan sistem pembelajaran yang tak biasa. Berbeda dengan sekolah pada umumnya yang memiliki jadwal pelajaran, Tomoe membebaskan setiap murid untuk memilih bidang studi yang ingin dipelajari. Meskipun itu berarti akan ada anak yang sibuk menggambar di samping anak yang sedang senam. Atau anak yang bereksperimen dengan tabung percobaan, sementara anak yang lain belajar bahasa Jepang. Dijelaskan dalam novel ini, metode pengajaran seperti itu membuat para guru dapat mengamati bidang apa yang diminati oleh murid-murid. Itu adalah cara ideal bagi para guru untuk benar-benar mengenal murid mereka.
Tentu saja Totto-chan merasa sangat senang bersekolah di sana. Di hari pertama, ia mengobrol seharian dengan kepala sekolah. Sebenarnya tidak bisa disebut mengobrol karena Totto-chanlah yang berbicara tanpa henti selama empat jam penuh. Perhatian kepala sekolah membuatnya merasa aman, hangat, dan senang berada di sana. Pada hari itu juga, sekolah itu menerima Totto-chan bersama lima puluh murid spesial lainnya.
Hari berikutnya, Totto-chan bertemu dengan delapan orang teman-teman barunya di kelas satu. Salah seorang di antaranya adalah Yasuaki Yamamoto, anak penderita polio yang membuat Totto-chan bertanya-tanya. Dia melihat anak itu menyeret kakinya ketika berjalan, seluruh tubuhnya bergoyang-goyang aneh. Totto-chan memberanikan diri untuk bertanya yang kemudian membuka pintu persahabatan di antara mereka.
Jam makan siang adalah saat-saat yang paling dinantikan oleh Totto-chan karena saat itu ia bisa menunjukkan sesuatu dari laut dan sesuatu dari pegunungan kepada kepala sekolah. Sesuatu dari laut artinya makanan dari laut seperti ikan, sedangkan sesuatu dari pegunungan berarti makanan dari daratan seperti sayuran dan daging. Itu adalah cara kepala sekolah untuk menggambarkan makanan yang seimbang untuk disantap murid-muridnya saat makan siang. Alih-alih menyuruh Tolong pastikan anak-anak membawa bekal makan siang yang gizinya seimbang, kepala sekolah malah meminta para orangtua untuk mengisi kotak bekal putra-putri mereka dengan sesuatu dari laut dan sesuatu dari pegunungan.
Selain belajar di dalam kelas, anak-anak juga diizinkan belajar di luar kelas setelah makan siang. Anak-anak belajar tentang putik dan benang sari, proses penyerbukan, dan bermain di Kuil Kuhonbutsu. Kerap kali kepala sekolah mengajak anak-anak berenam di kolam renang yang ada di antara deretan kelas dan aula. Yang mengejutkan adalah kepala sekolah membiarkan murid-murid berenang tanpa sehelai kainpun. Meskipun begitu, semua anak tampak menjerit-jerit kegirangan tanpa memikirkan keadaan mereka dan teman-temannya yang tak mengenakan baju renang. Namun, jika ada yang membawa baju renang dan ingin memakainya, kepala sekolah tidak melarang. Hanya saja, ia ingin mengajarkan kepada anak-anak bahwa semua tubuh itu indah, termasuk tubuh Yasuaki yang menderita polio. Menurutnya, jika mereka bertelanjang dan bermain bersama, rasa malu dan rasa rendah diri akan segera hilang, seperti Yasuaki yang kini tak malu untuk berbaur bersama teman-temannya di kolam renang.
Tahun-tahun telah dilewati oleh Totto-chan bersama teman-temannya di Sekolah Tomoe. Berbagai peristiwa yang mereka alami, baik secara langsung maupun tidak langsung telah mengajarkan banyak hal, termasuk kematian Yasuaki. Tomoe mempersatukan perbedaan setiap murid dalam satu kenangan masa kecil yang tak pernah terlupakan. Melalui metode didik yang diberikan orangtuanya dan orang-orang di Sekolah Tomoe, Totto-chan mulai memahami arti menjadi dewasa.
Hingga pada tahun 1945, Tomoe musnah terbakar oleh serangan bom yang dijatuhkan pesawat pembom B29 di Tokyo. Kobayashi telah membangun sekolah itu sejak tahun 1937 dengan uang pribadinya, sehingga dibutuhkan waktu yang lama untuk membangunnya kembali. Setelah perang berakhir, dia membuka taman kanak-kanak di bekas tempat sekolah itu. Dia meninggal di usia empat puluh sembilan pada tahun 1963. Sedangkan Totto-chan tumbuh besar menjadi pribadi yang cerdas dan dewasa, seperti yang digambarkan Tetsuko Kuroyanagi di Bab Catatan Akhir.
Novel ini terdiri atas 63 bab yang masing-masing bercerita tentang peristiwa lucu, sedih, dan menakjubkan yang dialami Totto-chan. Sayangnya, cerita dalam setiap bab kerap tidak berkesinambungan sehingga terkesan seperti kumpulan cerita pendek. Namun, terlepas dari segala kekurangannya, novel ini menjadi bacaan wajib bagi setiap orang yang menaruh perhatian di bidang pendidikan. Di Jepang, buku ini resmi menjadi materi pengajaran. Banyak guru di Jepang menggunakan buku ini untuk menyampaikan materi yang sedang diajarkan. Anak-anak juga sangat dianjurkan untuk membaca buku ini agar mereka merasakan bahwa belajar adalah hal yang menyenangkan dan sekolah bukan tempat yang membatasi mereka untuk berkreasi.
Sumber gambar : wikipedia.com