Penulis: Helmi Naufal

Sumpah aku gatau siapa diriku. Anggapan orang aku sehelai roh yang bisa masuk ke tubuh orang. Itu bisa tak lakukan dengan mudah. Aku heran, ndak semua orang bisa melihat diriku. Tapi aku bisa melihat semua orang yang pingin ku lihat. Aku bisa terbang, nembus tembok, semauku deh. Iya aku tau kegiatanku tapi ndak tau siapa diriku. Lebih tepatnya ndak berani memberi identitas diriku.

Dari hari ke hari kerjaanku cuma terbang. Terbang. Terbang. Terbang. Gaada rasa capek buat terbang. Satu-satunya hal yang membuatku ndak terbang? Aku ndak tau juga. Pernah ada satu hal yang membuatku berhenti terbang. Saat asik terbang tiba-tiba aku pingin berhenti. Di bawahku ada seorang bocah pakai kaos oblong bolong. Dia berdiri di depan puluhan serdadu yang bergandengan tangan membentuk pagar memanjang. Pakaian serdadu itu sama, potongannya sama, pakai kaca mata hitam, pakai buff. Mungkin segala penutup di kepalanya untuk melindungi dirinya dari sengatan matahari.

Aku putuskan mendekat ke bocah itu. Ingin tau apa yang sedang dilakukan bocah itu. Sempat dia memanjat pohon. Menari-nari di atasnya. Kelihatannya dia ingin mengambil perhatian para serdadu itu. Dia ingin main sama patung-patungan itu. Dia juga loncat-loncat di depan serdadu. Persis jarak sejengkal ia ingin menggapai kaca mata hitam. Sekali dapat langsung jatuh. Bocah itu yang jatuh. Ndak ada yang terasa sakit, ndak ada kata menyesal. Buktinya dia berusaha lagi menggapai kaca mata hitam yang dipakai serdadu. Sambil cengengesan, bocah itu terus berusaha.

Di belakang bocah itu, sekira dua puluh langkah, banyak orang berkumpul. Orang-orang itu tampak gelisah. Ada yang sujud di tanah. Beberapa meronta-ronta marah. Tak sedikit juga yang menangis, air matanya terus mengalir. Sekelumit yang tak dengar, orang-orang itu menangisi tanah leluhurnya. Tanah yang memberinya kehidupan, dan tanah yang merangkul mereka dalam dekapan hangat ketika sudah tak bernyawa. “Siapa lagi yang mau menerima jasad orang-orang ini saat tak bernyawa lagi?” pekik salah satu dari mereka. Jeritan mereka sangat lantang.

Perhatian saya kembali ke bocah perkasa tadi.

“Le, apa yang bisa tak bantu?” batinku.

Kondisi sepanas itu dia tetap girang bermain. Tanpa lelah. Yang dilakukan pun semakin menjadi-jadi. Bocah itu berani menarik-narik pakaian serdadu. Satu kancing serdadu lepas. Karena belum mendapatkan respon dari serdadu, dia mengoyak-ngoyak pakaian yang lain. Dua tiga kancing lepas. Dia belum lelah. Wajahnya semakin sumringah. Semakin tak dianggap, semakin dia berusaha. Ketika dia senang tak ada yang namanya capek. Bahkan, kata itu dilupakan selamanya. Jangan harap bocah ini akan berhenti bermain. Yang ia kerjakan hanya bertujuan bahagia. Jangan lagi ditanyakan, energi yang ia dapat akan melimpah, dan sejauh yang saya lihat, dia serius dalam mencari kebahagiaan. Tentu dengan cara bermain, termasuk bermain dengan serdadu.

“Pakkkkkkkk,” teriak bocah itu persis ditelinga serdadu. Sekalian berharap gendang telinganya pecah. Namanya juga bocah.

Satu tendangan menjadi respon dari serdadu. Saat bocah tadi tersungkur, serdadu mengangkat kakinya tinggi-tinggi dan dengan cepat dihentakkan ke arah bocah tadi. Untung sang bocah berhasil lari menghindarinya.

Hampir bersamaan, orang-orang dibelakang bocah itu kehabisan tenaga. Lelah mereka ditandai dengan keluarnya darah. “Plakkk,” popor senapan nyosor seenaknya ke kepala salah satu orang. Sebenarnya orang itu bisa membalas. Pas di belakangnya ada celurit. Dia hanya perlu mundur beberapa langkah untuk meraih dan mengayunkan celurit itu. Tapi dia menahan. Memilih tak melakukan. Toh pun kalau celurit jadi diayunkan, urusan semakin runyam. Tak ada yang bisa membantu sesudahnya. Pemerintah tak akan hadir disana. Job desk nya kan cuma memerintah, bukan membantu.

Aku jadi curiga, jangan-jangan lelahnya para pejuang ini karena mereka kurang bahagia. Mereka lelah karena menahan. Menahan perintah dari pemerintah, menahan kebebalan patung serdadu, menahan tangis, menahan darah, pokoknya segala yang menahan. Tapi keadaan ndak sesederhana itu. Mereka juga bertahan-menahan keadaan. Ternyata sudah sebulan mereka hidup tanpa aliran listrik dan air. Mau berak, proses alamiah dari tubuh, kotoran tubuh yang harus dikeluarkan, mereka harus menahan. Ibarat motor, kalau ndak ada knalpotnya, ya mogok. Sawah dilindas bego. Akses jalan ditutup. Tembok beton dibangun setinggi dua meter untuk memisahkan mereka dengan ladangnya. Orang-orang membangun tenda merespon rumah-rumah mereka yang diratakan dengan tanah.

Sudah dua bulan mereka menahan bahagia karena ndak bisa menanam. Pelan tapi pasti mereka diasingkan. Dilemahkan.

***

Hari sudah malam. Aku putuskan bertahan di daerah ini bersama bocah tadi. Maksudnya, aku ndak terbang lagi seperti kegiatan-kegiatanku sebelumnya. Aku mengikuti bocah tadi. Setelah segala permainan yang ia ciptakan sendiri, yang membuat dirinya bahagia, ia pergi tidur.

Esok hari dia harus pergi ke sanggar. Dia harus belajar dan bermain. Belajar dalam bermain. Sanggarnya teduh, sebelah kidul ada kandang ayam. Kucing kampung bebas lalu lalang di sanggarnya. Bocah ini, dan beberapa temannya, akrab dengan hewan-hewan itu. Saat mereka tertawa dalam belajar, gemuruh mobil terdengar mendekat. Serdadu itu datang lagi. Mereka bersiap jadi pagar, lagi. Bocah itu kembali sumringah. Kegiatan bermain dan melawan sebentar lagi dimulai.

Sebelum mendekat ke serdadu, aku sengaja merasuki tubuh bocah itu. Dengan segala dayaku, aku ajak kucing dan ayam turut bermain. Tak lupa kubisikkan beberapa nasihat kepada ayam dan kucing. Aku bisa melakukan itu.

Cuma butuh waktu sebentar berada di tubuh bocah itu. Aku tak rela mengganggu kebahagiannya. Bocah itu berlari ke arah serdadu. Siap menggoyahkan pagar dengan caranya. Kucing dan ayam turut berlari. Berbekal nasihat dariku, kucing dan ayam akan melakukan tugasnya.

Lihat apa yang bisa dilakukan bocah dan hewan ini. Ayam-ayam ini, dipimpin sang Jago, mulai melompat terbang ke arah serdadu. Rasakan cucukan mautnya. Pas di mata! Roboh pagarmu! Kucing berdiri, mencakar apapun yang ada di serdadu. Yang penting harus serdadu yang mengenai cakar panjang kucing yang tak pernah di rawat itu. Sekalian, cakar juga matanya.

Riuh suara bocah itu. Dia semakin senang dengan tingkah hewan-hewan itu. “Selamat nak, kau telah berbahagia.”

IIluatrator: Evryta Putri