Penulis: Dinda Indah Asmara

Matahari musim kemarau terasa terik menyengat kulit. Tapi langit begitu biru indah. Burung-burung terbang bebas dan berkicau saling sahut menyahut. Anak-anak berkulit gosong tertawa riang sambil menerbangkan layangan aneka bentuk dan warna di sawah bekas dipanen. Biru, merah, hitam layangan biasa berbuntut sangat panjang atau gapangan yang besar menari-nari di atas.

Kemarau, ah… Aku selalu suka kemarau. Langitnya selalu begitu indah entah siang atau malamnya. Jika siang hari ia begitu semarak oleh burung-burung dan layangan, malam hari kelap kelip bintang membentang bagaikan lampu pesta menghias malam. Aku juga suka angin sepoinya yang kini tengah membelai rambutku yang terurai, mengabarkan aroma tanah kering dan daun-daun padi yang baru dipanen kepada hidungku. Sedap sekali. Dalam benakku, kemarau seakan semarak pesta alam raya.

Tapi, tidak demikian dengan bapak. Ia tak suka kemarau, selalu tak suka. Setiap kemarau, di rumah kami selalu penuh dengan gerutuan. Ini itu digerutui. Sedikit debu di meja saja digerutui, kopi terlalu panas, ayam masuk rumah. Semua hal digerutui, seakan tidak ada hal yang lepas dari gerutuan bapak.

Dulu aku selalu sebal jika kena gerutuannya. Namun sekarang aku mulai paham alasannya. Setiap kemarau, berarti tidak ada hujan yang turun membasahi bumi. Tidak ada hujan turun, berarti tanah kering. Padahal tanaman apalagi padi butuh banyak air untuk tumbuh subur. Bapak mau tak mau harus ke rumah Pak Eko, salah satu juragan di desa ini untuk meminta sawahnya diairi lewat PT. Pak Eko memanglah orang terkaya di desa kami dan satu-satunya orang yang punya PT. PT adalah sumur bor yang mampu mengambil air tanah dalam jumlah banyak. Ia digerakkan oleh tenaga listrik. Warga desa memang tidak perlu membayar sejumlah uang kepada Pak Eko jika ingin memakai PT, tapi bukan berarti gratis. Melainkan, kami harus membayar dengan seperlima hasil panenan kami. Yah begitulah, hasil panen yang sedikit itu memang harus dibagi-bagi, untuk PT, makan, biaya sekolahku dan adik-adik, serta untuk modal tanam lagi. Itu yang membuat bapak tidak suka kemarau dan tidak bisa merasakan semarak pestanya, seperti yang kurasakan.

“Mar!”

Teriakan seseorang mengagetkanku. Bapak. Ah, aku tanpa sadar telah bermain terlalu lama hingga lupa akan tugasku untuk mengantarkan makanan pada bapak. Bergegas aku berlari ke arahnya. Ia tengah duduk di bawah pohon asam di tepi jalan melepas penatnya. Saat aku datang, wajahnya tampak kesal. Buru-buru, kukeluarkan semua makanan yang kubawa.

“Mar…,” katanya.

Aku sudah hapal apa yang akan keluar dari mulutnya. Pasti…

“Belajarlah dengan rajin, tuntutlah ilmu tinggi-tinggi, jadilah wanita yang cerdas!” Kemudian ia berhenti sejenak. Kalimat berikutnya yang akan ia ucapkan pun aku sudah hapal dengan jelas. Ia pasti akan bilang…

“Jangan jadi seperti Bapakmu ini, jadi orang tani. Sekarang bertani semakin sulit. Jadinya makan juga sulit, menyekolahkan kau dan adik-adikmu biar jadi anak pintar juga bukan main sulit,” ucapnya kemudian diam.

Ya, kalimat-kalimat itu memang setiap hari, pagi, siang, maupun malam diucapkan kepadaku. Menjadi petani memang membawanya pada kesedihan karena kesulitan hidup yang tak kunjung hilang. Padahal, aku tahu ia suka sekali bertani. Matanya selalu memancarkan sorot harapan kala cangkrukan dengan para tetangga, menceritakan tanahnya yang gembur bukan main, hingga padi-padinya yang akan segera dipanen. Ia memang lelaki yang tumbuh dan hidup bersama sawah, bersama padi-padi, kicau burung, dan gemercik air. Kakinya telah akrab dengan pematang dan lumpur, sementara tangannya telah begitu mesra bersama cangkul. Bapaknya bapak memang petani, begitu juga kakeknya, juga mbah buyutnya. Ia telah turun-temurun bertani.

Bapak dulu pernah bercerita jika di siang hari, ia suka menunggui burung sambil bermain layangan, seperti yang adik-adikku lakukan dan dulu juga kulakukan. Ia juga bercerita jika mbah dulu pandai sekali buat benih. Padi atau jagung dari benih buatan mbah selalu baik panenannya, tentu dengan perawatan yang baik juga. Dulu, ia dan mbah tak perlu beli pupuk pabrik yang mahal itu, juga menyewa traktor karena ia masih punya sapi-sapi yang siap membajak sawahnya.

Tapi kini lain. Sawah tak akan bisa ditanami tanpa dibajak, dan membajak sawah harus memakai traktor yang harus kami sewa dari Pak Eko karena sapi sudah dijual semua. Tak kurang dari dua ratus ribu yang kami keluarkan untuk memakainya. Ketika ditanam, ia juga harus diberi pupuk buatan pabrik yang tiap tahun harganya semakin tak terjangkau, bukan pupuk kandang. Agar tumbuh dengan subur, kata penyuluh pertanian dari kecamatan itu. Tapi ternyata, setelah memakainya justru kami tidak bisa terlepas dari pupuk itu. Belum lagi hama wereng yang benar-benar merusak bulir-bulir padi jika sudah menyerang. Obat pembasmi hama juga harus kami beli. Biaya tanam banyak sekali. Hasil sekali panen kadang-kadang bisa habis untuk menanam lagi. Bapakpun harus bekerja serabutan menjadi buruh di sawah orang atau manol alias kuli pasir. Jika sudah demikian, maka sawah kami tidak ada yang menggarap. Karena itu, aku dan ibu yang harus turun tangan.

Bertani memang sulit, karena itu bapak melarangku menjadi petani. Tapi, mana bisa? Mana bisa aku terlepas dari aroma tanah dan daun-daun padi atau jagung yang dibawa angin? Mana bisa aku terlepas dari indahnya tarian padi yang terlihat rancak kala angin menyapa? Mana bisa aku terlepas dari gelak tawa anak-anak yang tengah bermain di sawah entah itu menerbangkan layangan atau mencari belut ketika penghujan datang? Mana bisa aku terlepas dari sawah yang menemaniku besar?

***

“Ojo!” teriak ibu.

Bapak dan ibu tengah bertengkar hebat. Sementara aku mengunci diri dalam kamar sibuk menutupi kuping ketiga adikku, Tinah, Tidar, dan Hamdan agar tak mendengar pertengkaran. Aku berusaha menidurkan mereka. Pertengkaran seperti itu tidak baik bagi jiwa-jiwa mereka yang masih kecil dan rapuh.

Bapak dan ibu tidak pernah bertengkar sehebat ini sebelumnya. Tapi, hari ini bapak bilang sesuatu yang mengagetkan. Ia bilang ia ingin menjual tanah warisan. Tentu saja sontak ibu menolaknya. Tanah itu adalah tanah warisan, dari mbah buyut, diturunkan ke mbah, lalu ke bapak. Kata bapak bertani tidak menghasilkan lagi. Kebutuhan hidup semakin banyak dan hasil panenan tak pernah menjanjikan. Wajar bapak berpikir demikian. Tanah kami itu luasnya hanyalah nol koma tiga hektar. Sekali panen setelah menanti empat bulan, sawah itu menghasilkan dua koma dua ton gabah, jika bagus. Gabah itu akan diambil tengkulak dengan harga jual empat ribu rupiah jika kering dan tiga ribu rupiah jika basah. Hasil yang kami dapat itu haruslah cukup untuk mengisi enam perut, menyekolahkan empat anak, membeli pupuk, menyewa traktor, juga berbagai tetek-bengek kebutuhan rumah lainnya.

Kemarin padi kami gagal panen karena hama wereng. Semua itu karena bapak tidak mampu lagi membeli obat pembasmi wereng. Kamipun terjerat utang yang sebelumnya kami pinjam untuk modal tanam. Hidup kami semakin sulit. Karena itu ia ingin kami sekeluarga pindah ke kota dan menjual tanah warisan. Hasil penjualan tanah akan dipakai untuk melunasi utang dan sisanya digunakan sebagai modal hidup di kota. Bapak ingin memulai hidup baru, hidup yang lebih baik. Ia dengar dari pakde bahwa di kota setiap hari pasti ada pekerjaan. Modal tenaga saja sudah bisa dapat uang. Tidak perlu beli pupuk atau menyewa traktor seperti di desa. Hal itu diutarakannya pada ibu. Dan perlahan-lahan ibu yang sebelumnya ngotot menolaknya, luluh juga. Kesusahan yang tak berkesudahan pasti membuatnya lelah hingga harapan akan hidup lebih baik membuatnya setuju melepas tanah warisan yang telah puluhan tahun kami garap itu. Aku tahu, dan aku yakin bapak dan ibu juga, bahwa jika tanah itu kami jual, sudah tidak ada lagi yang kami punya.

Dari jendela kayu kamar kami, kupandang langit biru musim kemarau. Kicau burung saling sahut-menyahut sontak membayangi benakku, juga gelak tawa anak-anak yang asyik menerbangkan layangan di sawah-sawah yang usai dipanen. Aku teringat mesranya kemarau yang selalu menyapaku, langitnya, anginnya, aromanya. Seketika air mataku menetes mengenai pipi si kecil Hamdan. Ia pun terbangun, segera kutepuk-tepuk punggungnya agar kembali lelap.