Penulis: Dinda Indah Asmara

Pendar lampu lima watt yang berwarna kuning mewarnai jalan. Jalan berbatu dilapisi air sisa hujan tadi sore. Beberapa serangga malam kesenengan melihat cahaya terang. Dusun itu sunyi. Pepohonan dan bukit-bukit membuatnya begitu terasing, jika lampu tak menyala, dusun itu sudah mirip kuburan ketika magrib menjelang.

Dusun itu adalah dusun yang sepi dan kesepian. Orang-orang tua yang cita-cita terbesarnya hanyalah melihat kepulangan anak-anaknya dari rantauan dan anak-anak kecil berhidung mbeler kurus kering adalah penghuninya. Jika siang, hanya omelan para nenek menyuruh cucunya tidur dan obrolan para kakek yang sedang beristirahat dari sawah yang membuat dusun itu seakan bernapas. Sementara ketika malam datang, tepat sekian puluh menit setelah beduk magrib dipukul, hidup seketika berjeda sejenak.

Keterasingan, kesepian, ditambah kemiskinannya semakin menguatkan kesan suram baginya. Dusun itu dipercaya memang sial. Kemalangan datang bertubi-tubi, sampai-sampai penghuninya terus bertanya-tanya apa sebabnya. Pertanyaan yang akhirnya memuarakan jawabannya pada seorang perempuan gila.

Seorang perempuan yang kini terduduk dengan tatapan kosong yang menuju lurus ke arahku. Ia sedari tadi tak bergerak dan kurasa akan terus begitu juga sampai besok pagi tiba. Ia sungguh-sungguh gila, tapi aku lebih gila, mendatangi orang gila dan menungguinya menatap kosong selama berjam-jam padahal aku tak ada ikatan apapun dengannya. Jika bukan karena sebuah mimpi dan aku ingin sekali menang di undian kali ini, maka aku tak sudi bersusah payah sampai kemari. Aku masih mengamatinya dan kurasa tak ada satupun yang berubah, ia masih tetap dalam posisinya yang tadi. Akhirnya kuakhiri pekerjaan tak bergunaku dan kuputuskan untuk mencari tempat yang nyaman buat menyesap satu atau dua batang rokok.

Kumasukkan asap dari lintingan tembakau dalam paru-paruku, beberapa hisapan dan diriku mulai nyaman. Hujan telah lama berhenti, tapi tetes-tetes airnya masih turun dari ujung dedaunan. Malam sepi dan dingin, tapi tak kusangka ada seorang manusia yang masih terlihat. Seorang laki-laki tua, menenteng pacul. Rupanya ia baru membereskan sawahnya yang kebanjiran. Ia menyapaku, aku menawarinya rokok, dan ia mengajakku mampir. Kami berbincang sepanjang jalan dan ia seketika terkejut ketika mendengarku menemui perempuan gila tadi.

Ojo le…!”, katanya. Sontak aku merasa bingung, lantas ia ceritakan semuanya.

“Dulu, desa ini adalah desa yang makmur, kata mulyo yang tersemat dalam nama dusun adalah buktinya”, katanya lantas berhenti sejenak, “Uang begitu mudah dicari, anak-anak membawa beberapa uang dan mampu menyenangkan orang tuanya saat kembali dari rantauan, hari-hari besar senantiasa dirayakan dengan nanggap wayang dan bendera kuning menghiasi sudut-sudut jalan”. Ia lalu kembali diam dan perlahan menghisap rokoknya. Suara jangkrik jelas di telinga, sementara air masih menetes-netes dari atas pohon nangka. Tiada siapapun disana kecuali kami bedua, dan saat kami diam, suara napas bahkan jadi terasa demikian bising.

“Lalu?”, tanyaku memecah sepi. Sunyi, aku benar-benar tak tahan. Laki-laki tua tadi masih diam, tapi kini matanya menerawang, seakan penuh dengan kebencian.

“Pertama pemuda pulang tanpa hasil dari kerja kerasnya. Mereka semua ramai-ramai di-PHK”. Jawabannya yang tak nyambung tadi sungguh membuatku kaget. Tapi aku paham kisah ini adalah kisah yang panjang dan kesunyian, aku tak menyukainya.

Maka kutunggu baik-baik kisah itu, dan mulut keriput kehitaman itu kembali terbuka. “Lalu anakku, Umirah yang alus dan baik perangainya, mati. Tubuhnya dipenuhi dengan luka sayatan dan dadanya memar. Ia mati dengan tak wajar”. Ia diam sejenak dan dengan suara yang parau kembali melanjutkan kisahnya,”Hingga satu persatu gadis mati dalam perantauannya, beberapa bahkan menghilang begitu saja, menyisakan anak-anak kesepian tanpa ibu. Dan semua itu tak lain karena kutuk yang dibawa oleh dosa-dosa perempuan sial yang tadi kau temui!”, suaranya meninggi, lantas ia diam tertelan dalam kesedihannya sendiri. Malam turun semakin larut dan dingin semakin kuat menghantam kulit. Cerita pria tadi terus terngiang di kepalaku. Membayang dan seakan menghantuiku. Perempuan tadi adalah pembawa malang, lantas aku kemari karena percaya sebuah keberuntungan yang diisyaratkan oleh mimpi. Malam itu kupaksa mataku terpejam. Aku jadi benar-benar penasaran soal perempuan itu dan esoknya pagi-pagi sekali aku sudah berada di kandang sapi tempat tinggalnya.

Mukanya masih kosong dan ia pun masih menatap titik yang sama. Aku memandang wajahnya lekat. Ia adalah seorang perempuan tua. Wajahnya tampak begitu lelah, sedih, tapi juga marah. Bulu kudukku berdiri saat menyadarinya dan aku langsung teringat tuturan dari laki-laki tua yang merokok denganku semalam, “Ia adalah perempuan sial yang dendamnya membawa kemalangan”. Dendam yang tersimpan dalam matanya begitu mengerikan, seakan apapun bisa dilumatnya hanya dengan satu tatapan. Aku menatapnya, tapi dia perlahan mulai bergerak. Ia seperti meraih sesuatu dan dengan tangan terantai susah payah memasukkannya dalam mulut. Tapi ia tak meraih apapun, ia hanya meraih kekosongan. Ia pun mengunyah kekosongan itu, menelannya seolah itu makanan ternikmat di dunia. Aku sungguh merasa heran dengan apa yang ia perbuat sekarang. Perempuan ini benar-benar gila, hanya kata itulah yang terus berulang dalam kepala. Tapi perempuan itu justru tersenyum dan berkata, “Anakku yang memberikannya, jangan bingung jika kau tak melihatnya, ia memang telah mati dan kami sudah bersepakat bahwa ia akan terus disini demi mendapatkan keadilannya”.

Tidak bisa tidak aku terbelalak mendengarnya. Aku benar-benar heran, bagaimana bisa ia bersepakat dengan seorang yang telah mati, anaknya sendiri, demi sebuah keadilan, dan keadilan yang bagaimana pula itu? Semua hal tak masuk akal yang mendadak menyerangku ini benar – benar membuat kepalaku pusing, dan perempuan tadi justru tersenyum, tangannya yang tadi meraih kekosongan kini mengelus-ngelus sebuah kekosongan pula.

“Aku sudah bilang jangan terkejut, keadilan memang harus ditegakkan, itu suatu keharusan. Tapi segala sesuatu kadang jauh dari yang kita harapkan. Seringkali kita tak berdaya padahal telah jadi korban, lantas tak bisa berbuat apa-apa. Tapi aku menolak untuk menyerah, maka aku memilih tak mengubur anakku, agar ia masih disini dan membalas dendam.”

Kalimat terakhirnya tadi membuat aku tak bisa berpikir jernih lagi. Ia adalah perempuan gila, sungguh-sungguh gila. Aku sudah berniat pergi saat tangannya meraih tanganku, lantas mulutnya meracau menceritakan semua penderitaannya. Dengan susah payah aku membebaskan diri darinya, berlari sepanjang jalanan dusun yang berbatu, lantas naik ojek di pangkalan, dan menaiki bis kota. Sama sekali aku telah lupa tujuanku kemari. Kelelahan, keterkejutan, dan ketakutan membuatku jatuh tertidur. Dalam lelap hanya kata-katanya soal anaknya yang mati diperkosa oleh majikannya yang tak pernah mendapatkan hukuman, orang-orang dusun yang menganggapnya sebagai sumber kesialan, dan usaha gilanya untuk mendapatkan keadilan yang terus menerus melintas di kepalaku.

Ilustrator: Widya Adellia