“Kas… Kas… yang tidak bayar kas akan kena denda!” teriak Dewan sembari membawa buku catatannya. Dengan senyum sumringah, Dewan menghampiri bangku gadis paling cantik di kelas, Ningrat namanya. “Hai, Ning! Pagi ini sudah terlihat indah saja atau mungkin parasmu yang memperindahnya?” rayu lelaki itu. Sementara Ningrat duduk di bangkunya sembari tersipu-sipu. Hati Ningrat memang sudah tertambat sejak lama pada Dewan. Ia pun menyerahkan sebungkus coklat untuk Dewan sebagai bukti cintanya. “Terima kasih, kalau begitu aku akan menagih siswa lain dulu,” ujar Dewan usai mengambil sebatang coklat mahal itu. Ning hanya melambai tanpa mengikuti kemana punggung Dewan akan berhenti selanjutnya.

“Hei, Fakir! Kau sudah menunggak minggu lalu, jadi kau harus membayar tiga kali lipat sekarang.” Fakir pun menghela napas dan merogoh sakunya lebih dalam. Namun tak disangka, saku yang ia rogoh malah berlubang dan mengeluarkan semua uang yang ia punya. “Uang segini pun tidak akan pernah cukup bahkan untuk membayar utang kasmu. Kau harus membayarnya dengan cara lain,” ujar Dewan dengan nada meremehkan. “Berikan kursimu untuk Bengal! Sebelum itu kursinya sudah keropos, aku tidak ingin anak nakal itu malah merebut singgasanaku,” tambah Dewan. Fakir yang merasa tidak dapat berbuat apa-apa pun memilih mengalah dan duduk di lantai bersama Jenius, Dungu, dan Jelata. Entahlah, Fakir tidak mengerti kenapa hanya ada enam kursi di kelas yang berisi sepuluh anak.

Tembok yang suram dan lantai yang kotor membuat Jelata, Jenius, Dungu dan Fakir terus-menerus menggaruk kakinya yang terasa gatal. Kelas mereka tidak memiliki alat kebersihan sama sekali. Sapu dan kemoceng yang diberikan sekolah tempo hari pun sudah rusak usai dibuat bermain pedang-pedangan oleh Bengal. Pak Pres yang melihatnya pun mengiba. Ia memanggil mereka berempat untuk beralih duduk di kursi guru. Namun satu kursi tidak akan muat untuk empat orang. Pak Pres pun berinisiatif untuk pergi mengambil kursi lagi di gudang.

Ketika Pak Pres telah meninggalkan tempat, Bengal menyorot tajam kepada keempat anak itu. Bersama dengan Konglomerat, Bengal menenteng patahan kaki kursi kearah kursi guru. “Dewan, kau tidak mau ikut denganku?” celetuk Bengal dan malah mendapati sahabatnya itu menggeleng. “Kau saja yang mengerjakan pekerjaan kotor, aku tidak mau ikut-ikutan” jawab Dewan dan kembali bersenda-gurau dengan Ningrat. Bengal mendengus sebal melihatnya. Tanpa mereka sadari, seseorang tengah menyaksikan perdebatan kecil mereka.

Tanpa sepatah kata peringatan, balok kayu itu pun menghantam kursi guru tempat keempat anak itu berada. Mereka langsung menyingkir. Namun, tanpa sengaja Dungu malah tersungkur dan lututnya tertusuk serpihan kayu yang tajam. Jelata langsung menariknya menjauh dari jangkauan Bengal dan Konglomerat yang sedang mengamuk. Mereka berempat menatap sekeliling kelas dan melihat siswa lain yang nampak asik dengan kegiatan mereka masing-masing, tak acuh sedikitpun.

Tak lama kemudian, Pak Pres muncul dengan dibantu oleh beberapa orang membawa empat kursi tersebut. Namun betapa terkejutnya beliau saat mendapati tempatnya malah rusak dan tak lagi layak pakai. “Kenapa bisa rusak?” tanyanya. Keempat anak itu tak berani menjawab dan hanya saling lirik. Sementara Bengal menatap keempat anak itu seolah-olah akan menelan mereka bulat-bulat. “Bangku itu tidak dapat menampung kami berempat dan berakhir rusak, Pak” jawab Fakir dengan takut-takut. Pak Pres malah mengelus surainya dan mengatakan tidak apa-apa. Ia akan meminta sekolah untuk menyediakan empat meja dan kursi untuk mereka berempat sehingga mereka tidak perlu duduk di lantai yang kotor.

Keesokan harinya, bangku yang dijanjikan oleh Pak Pres pun telah terpajang sempurna di sudut kelas. Dungu yang paling antusias mencoba bangkunya yang sangat nyaman. Terdapat bantalan empuk pula di kursinya. Namun tanpa mereka sadari, seiisi kelas memerhatikannya dengan penuh dengki.

Dering bel jam pelajaran masih belum terdera. Jenius pun mengajak kawan-kawannya pergi ke kantin. Namun saat mereka baru mengambil tempat, seorang anak lelaki berambut pirang menyapa mereka. “Hai! Namaku James dan aku dari kelas sebelah” ujarnya sembari menjabat tangan Jenius dan kawan-kawannya satu-persatu. “Namaku Jenius dan ini Jel-“ ucapan Jenius terpotong oleh celetukan James, “Aku sudah tahu siapa kalian.” Sembari menyesap coklat hangatnya, tanpa disangka James malah mengangsurkan sebuah korek kepada mereka berempat. Jenius yang biasanya pintar malah mengerutkan kening tidak paham. “Bangku terbuat dari kayu dan kayu itu mudah terbakar” ucap James. “Aku tidak mengerti” jawab Jenius. Namun alih-alih menjawabnya dengan gamblang, James malah membuatnya semakin rumit, “Kalau kalian perlu dukungan, kelasku bisa membantu.”

Betapa terkejutnya mereka ketika kembali ke kelas dan tidak lagi mendapati keempat bangku mereka. “Sudah tidak usah khawatir. Mungkin kalian tidak cocok berada sederajat dengan kami. Kembali saja di lantai yang kotor itu,” celetuk Dewan meremehkan. Mereka berempat menatap sekelilingnya hampa. “Kalau hanya kursi yang menjadi sumber ketidakadilan, mengapa tidak dihilangkan saja?” gugat Jenius. Karena geram, mereka berempat pun tak peduli lagi jika harus membuat kehebohan dengan membakar semua meja dan kursi. Mereka tidak lagi peduli dengan Bengal. Bukankah kalau dipukul, mereka tinggal balas memukul? Jika semua orang hanya peduli dengan hierarki, mungkin mereka akan segera mengerti jika mereka duduk di derajat yang sama. Lantai yang kumuh pasti menyambutnya.

Penulis: Tiara Maulidah

Editor: Nadya Rajagukguk