Penulis: Satria Budi Utama

“Hasil temuan ICW (Indonesia Corruption Watch) mengungkap bahwa selama satu dasawarsa terakhir, terdapat 296 kasus korupsi di bidang pendidikan. Akibatnya, kerugian negara diindikasikan mencapai 619 miliar rupiah dengan jumlah tersangka 479 orang. Tak ada dana pendidikan yang lolos dari belenggu korupsi. Hampir semua institusi pendidikan, terutama semua jenjang satuan pendidikan melakukan korupsi.

Ini menjadi salah satu kesimpulan hasil kajian ICW soal korupsi pendidikan selama sepuluh tahun terakhir,” (dikutip dari antikorupsi.org/Rapor Merah: Sepuluh Tahun Korupsi Pendidikan / 28/8/2015)

Hal ini diperparah oleh catatan “prestasi” korupsi di perguruan tinggi yang menyebabkan besarnya kerugian negara. Seperti data yang dilansir dari ICW, Perguruan tinggi telah menyelewengkan uang negara sebesar 217,1 miliar rupiah lewat 30 praktik korupsi. Padahal, perguruan tinggi merupakan bagian dari system pendidikan nasional yang memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan.

Korupsi ditataran unversitas seakan dimuluskan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. Disebutkan pada pasal 64 ayat (3) mengenai adanya otonomi pengelolaan di bidang non akademik, salah satunya yaitu otonomi keuangan. Padahal, dengan pemberian kewenangan kepada perguruan tinggi untuk mengelola keuangannya justru akan membuka peluang terjadinya tindakan korupsi. Berbagai modus korupsi yang sering digunakan di perguruan tinggi, diantaranya penggelapan dana, mark up, pemotongan anggaran, biaya praktikum dan pengadaan gedung dan perangkat Informasi Teknologi (IT).

Korupsi bikin goblok, Bung!

Korupsi membuat orang dan masyarakat menjadi goblok! Sebuah penelitian dari University of Konstansz di Jerman menyimpukan bahwa negara-negara yang memiliki proporsi IQ tinggi yang besar memiliki tingkat korupsi yang lebih rendah. Sebab orang yang lebih cerdas akan me-mentingkan kepentingan jangka panjang daripada kepentingan jangka pendek. Di sini saya simpulkan bahwa manusia-manusia yang korup hanya mementingkan kesenangan sesaat (jangka pen-dek). Orang yang memiliki mental korup cen-derung hidup hedonis materialistis dengan moral yang rendah. Jika pejabat naik pangkat bukan ka-rena prestasi tetapi karena suap, untuk apa susah-susah belajar? Menyogok saja dan semuanya pun beres. Trotsky mengatakan inimental kaum borjuis yang intuisinya terbentuk karena keinginan untuk mendapatkan rasa aman.

Lebih parah lagi jika yang dikorupsi adalah dana pendidikan, mengingat korupsi di sektor tersebut cukup marak. Pendidikan sebagai hak asasi dipandang sebagai faktor utama kemajuan peradaban. Dampak dari korupsi dari sektor ini sangat parah. Anggaran pendidikan yang dicuri bisa saja berimbas pada kelas yang terlalu sumpek akibat kurangnya bangunan dan gedung sekolah yang rapuh. Materi dan buku-buku tidak diberikan secara gratis, tetapi malah dikomersialisasi. Kursi di sekolah dan perguruan tinggi diperjualbelikan, dan berbagai biaya yang tidak jelas dibebankan pada murid dan mahasiswa. Nilai dan gelar dapat dibeli, dosen ditunjuk bukan karena kualifikasi, melainkan karena koneksi. Agenda riset perguruan tinggi dapat diintervensi sesuai selera penguasa yang tunduk pada kepentingan imperialisme. Persis seperti kata Ben Anderson, “Berhadapan dengan kekuasaan, penilaian moral harus diam.” Hasil akhirnya adalah ketidakmerataan akses pendidikan dan kualitas yang rendah pada pendidikan itu sendiri. Hal ini menyebabkan masyarakat mentolerir dan menerima praktik korupsi lewat sistem pendidikan yang sudah korup.

Semua terlibat!

Banyak kalangan memiliki berbagai alasan untuk pesimis melihat kondisi Indonesia hari ini. Korupsi yang sudah berjamaah, menjamurnya mafia hukum, menjadi alasan kepesismisan tersebut. Masyarakat menjadi terbiasa dan pasrah dengan menjamurnya korupsi dan menganggap pemberantasan korupsi adalah utopis. Namun, saya memiliki segala alasan untuk bersyukur karena Indonesia bukanlah Korea Utara yang diperintah oleh totalitarian absolut. Juga bukan Somalia yang menjadi sarang para teroris. Kedua negara tersebut bertengger dalam ranking pertama sebagai negara yang paling korupdan non-demokratis di dunia. Sementara itu, berdasarkan data yang dilansir oleh Index Persepsi Korupsi Transparency Inter-national, Indonesia pelan-pelan merangkak menuju keatas ranking negara paling bebas korupsi. Semula berada di ranking 114 (dari 175 ranking) di tahun 2013 keranking 107 di tahun 2014.

Saya berpendapat bahwa korupsi adalah ancaman teratas bagi keselamatan bangsa, di atas krisis ekonomi, terorisme, pengangguran, ketidakmerataan pembangunan dan kesenjangan ekonomi. Justru korupsi dapat menjadi penyebab dari ancaman-ancaman yang lain tersebut. Menurut survei Kompas pada 2010, di mata masyarakat, korupsi adalah permasalahan utama Indonesia. Korupsi membahayakan tujuan bangsa kita yang termuat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: 1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2) memajukan kesejahteraan umum; 3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan 4) ikut serta melaksanakan ketertiban dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Saya berpendapat bahwa korupsi adalah ancaman utama bagi terlaksananya tujuan mulia tersebut, dan inilah alasan kenapa kalian dansaya, walau bukan bagian dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Kejaksaan atau Kepolisian (karena memang kedua institusi ini tidak bisa diandalkan), dan mungkin hanya mahasiswa biasa, tetapi kita tetap harus menjadi pejuang anti korupsi demi masa depan Indonesia. Mahasiswa juga harus berperan dalam pengawasan pada birokrat kampus, bukan sebaliknya!