Fakta bahwa dihantam wabah selama hampir setahun tanpa menyandang status “menang”, Indonesia benar benar sedang mendapat ujian berat. Laporan terbaru sebagaimana yang dipaparkan dalam nasional.kompas.com, menyebutkan virus ini menjangkit satu juta lebih penduduk indonesia yang tersebar di sejumlah daerah.
Meski diklaim sebagai “situasi darurat“, jurnalis tetap harus berperan sebagai garda terdepan dalam menyampaikan informasi kepada publik. Dalam era ini ( 2020-2021 ) tersimpan sejumlah memori hitam bagi sejumlah jurnalis di tanah air. Jika di era orde baru Surya Paloh mengekspresikan gejolak hatinya lewat koran hitam di hari pers nasional, sepertinya saya juga ingin mengungkapkan gejolak hati melalui tulisan hitam era ini. Gejolak ini tak lepas dari daruratnya kesejahteraan jurnalis ditengah pandemi dan sejumlah perang batin jurnalis di tengah kondisi negara yang masih sakit. Sejumlah perang batin tak lain dimotori oleh berita kematian nurani tuan penguasa ditengah wabah negeri ini.
Sebagai sebuah negara yang mengakui eksistensi hak asasi manusia, kesejahteraan dan perlindungan jurnalis, Indonesia justru lagi–lagi meninggalkan catatan hitam, khususnya ditengah pandemi. Mimpi buruk terinfeksi wabah juga menyeret sejumlah jurnalis di tanah air. Menurut aji.org.id, dalam periode 30 Maret hingga 18 September 2020, Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) mencatat setidaknya ada 242 jurnalis dan pekerja media yang dinyatakan positif Covid 19. Tentunya, angka ini masih lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah riil dilapangan. AJI mengungkapkan sejumlah jurnalis yang terinfeksi disebabkan sikap abai penguasa terhadap penerapan protokol kesehatan dalam kegiatan yang melibatkan jurnalis.
Adapun sikap abai tersebut terlihat dari sejumlah konferensi pers yang digelar kementerian dan pemerintah daerah secara tatap muka yang mengabaikan protocol kesehatan. Berdasarkan informasi dari aji.org.id, AJI mencatat setidaknya ada tujuh kegiatan konferensi pers secara langsung, yang tidak menaati protokol kesehatan. Selain itu, ketua AJI Abdul Manan mengatakan, banyaknya jurnalis yang terinfeksi juga tak lain disebabkan minimnya perlindungan dari kantor media bagi jurnalis yang terpaksa terjun ke lapangan, khususnya dalam peliputan yang beresiko.
Tak usai diterpa krisis keselamatan kerja, para jurnalis masih harus berperang dengan ancaman ekonomi akibat pandemi. Dilansir dari lbhpers.org, ekonomi yang lesu berdampak pada merosotnya pendapatan media sehingga tak sedikit perusahaan memilih melakukan pemotongan gaji, penundaan pembayaran gaji hingga melakukan PHK kepada pekerjanya. Sepertinya, badai kelam nan dahsyat sukses menghantam nasib jurnalis, baik di tahun kemarin maupun saat ini.
Adapun rekaman jejak kelam nasib jurnalis di tahun kemarin dapat dilihat di lbhpers.org.id, di mana sejak awal April hingga Mei 2020, setidaknya ada 61 pengaduan jurnalis yang masuk ke posko LBH pers dan AJI Jakarta diantaranya 26 laporan PHK sepihak, 21 laporan jurnalis yang dirumahkan, 11 laporan pemotongan dan penundaan gaji para jurnalis, dan 3 laporan lainnya. Bahkan, AJI juga menerima laporan adanya penutupan media disejumlah kota di tanah air.
Realitas menyedihkan semacam ini menimbulkan tanda tanya besar terhadap bagaimana kesejahteraan jurnalis diupayakan, khususnya ditengah pandemi. Entah sudah warisan atau tidak, kehidupan jurnalis masih selalu jauh dari kata “sejahtera”. Gambaran miris kehidupan jurnalis seakan menjadi sebuah cerita yang terpinggirkan dan jarang menguap ke udara. Entahlah. Segenap raga berharap sang pengenggam kuasa membuka mata dan meringankan tangan, sebab kesejahteraan jurnalis tak jatuh dari langit, namun harus dibumikan.
Catatan Kelam Oktober
Tak cukup dihajar dengan roller coaster wabah, Indonesia bak sudah jatuh tertimpa tangga pula. Negara ini masih bersusah payah pergi dari keterpurukan virus, ketika mereka yang menjabat di posisi strategis malah asyik sendiri dengan dinamika perpolitikan beraroma busuk. Negara ini sudah sakit dan makin banyak komplikasi.
Oktober 2020 menyimpan catatan kelam. Semburan protes undang undang kontoversial benar-benar bagaikan luapan lava panas yang menyeruak. Hashtag mosi tidak percaya berlatar hitam meledak ke seantero negeri. Sepertinya, kepedihan hati dirasakan seluruh kaum negeri ini, tak luput para jurnalis. Manusia manusia ini merapatkan barisan, bergandengan tangan, merekam jejak perjuangan sambil meneriakkan tuntutan berbekal api nurani yang menyala nyala.
Masih segar dalam ingatan, mereka yang bergerilya mendapat sejumlah perilaku tak sepantasnya. Rilis pers dari aji.org.id, setidaknya ada tujuh jurnalis menjadi korban kekerasan anggota Polri dalam unjuk rasa tolak Omnibus Law di Jakarta, 8 Oktober 2020. Data dari AJI menunjukkan beberapa kasus kekerasan jurnalis, diantaranya Tohirin (Jurnalis CNNIndonesia.com) yang dipukul, dicaci, hingga alat liputan dihancurkan oleh oknum polisi ketika meliput demonstran di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat.
Masih senasib dengan Tohirin, Peter Rotti (jurnalis Suara.com) diseret, dipukul, dan ditendang gerombolan polisi, hingga tangan dan pelipisnya memar saat meliput di daerah Thamrin. Adapun Ponco Sulaksono (jurnalis merahputih.com) sempat ‘hilang’ beberapa jam, sebelum akhirnya diketahui bahwa dirinya dibekuk aparat dan ditahan di Polda Metro Jaya.
Tak hanya itu, aksi penangkapan pers mahasiswa yang turut meliput aksi juga menambah catatan hitam di bulan itu. Jurnalis persma tersebut diantaranya Berthy Johnry (anggota LPM Diamma), Syarifah, Amalia (anggota Perslima), Ajeng Putri, dan Muhammad Ahsan (anggota Persma Gema), yang tak luput dari sasaran polisi. Mereka ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya bersama massa aksi lainnya.
Ironi semacam ini bak sudah mendarah daging bagi para jurnalis dan menjadi santapan sehari hari. Meski kemerdekaan pers telah terjamin dalam pasal 4 UU Pers, namun sejatinya, ancaman kekerasan fisik, intimidasi pihak eksternal, penyerangan, penahanan, bahkan kehilangan nyawa pada jurnalis masih turut menodai arti kebebasan pers di tanah air.
Kelamnya Oktober, tak hanya menyangkut kekerasan pada jurnalis, namun juga perihal kebebasan pers yang kian dikandangkan pemerintah. Hal ini terlihat dari RUU Cipta kerja yang meninggalkan catatan dari segi substansinya. Contohnya, pada pasal 18 menyatakan penambahan empat kali lipat besaran hukuman pidana denda bagi perusahaan pers atas ayat 1 dan 2 .
Dilansir aji.org.id, AJI menyoroti kenaikan besaran sanksi ini bernuansa balas dendam, dimana sanksi itu bisa dijadikan sebagai alat . Hal ini berdasar pada tidak adanya rasionalisasi, dasar yuridis, dan akademis yang jelas dari pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut. Berdasarkan nformasi yang dihimpun dari nasional.kompas.com, Ketua Aliansi Jurnalis Independen ( AJI) , Abdul Manan menilai kenaikan sanksi denda ini bukanlah solusi untuk menengakkan UU Pers, malah memberi kesan pemerintah seperti menjalankan politik lip service dan bentuk pencitraan dalam melindungi kebebasan pers.
Selain itu, ayat 4 dalam pasal 18 tersebut kian memperjelas kemunduran kebebasan pers ditanah air. Adapun ayat 4 yang berbunyi : “Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur dengan Peraturan Pemerintah”, mempertegas bentuk intervensi pemerintah dalam dunia pers.
Sebagaimana pemberitaan dari nasional.kompas.com , Abdul Manan menilai adanya Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur soal pengenaan sanksi administratif, itu menjadi ‘pintu belakang’ atau ‘jalan tikus’ bagi pemerintah untuk ikut campur urusan pers. Ia juga menyoroti dalih administratif sebagai upaya pengekangan pers ini membawa kekhawatiran masa orde baru akan terulang kembali.
Adapun untuk mengokohkan keteguhan para jurnalis menghadapi ancaman pandemi, ancaman tuan penguasa, dan serangkaian santapan ancaman sehari hari, ada baiknya kita mengutip ucapan Jarar Siahaan, jurnalis berdarah batak dengan keaktifannya dalam menulis blog yang cukup mengigit : “Sebagai kaum cerdik cendekia, sejatinya wartawan menjalankan fungsi kenabian: membidani sejarah, menyebarkan kebajikan, membela kebenaran, memperjuangkan keadilan, membongkar kejahatan, dan mencerahkan pikiran. Jurnalisme adalah ‘jalan pedang’”.
Penulis: Nadya Rajagukguk
Editor: Benediktus Brian
Illustrator: Syadza