Reporter: Danar Yuditya dan Satria Utama

Malang, dianns.org – Pengadilan rakyat telah diselenggarakan di Den Haag, Belanda pada 10-13 November 2015 bertepatan dengan setengah abad tragedi pembantaian anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), simpatisan, dan pihak nasionalis pada 1965. Tribunal ini sebagai upaya untuk meraih keadilan bagi para korban. Tribunal tersebut digagas oleh International People’s Tribunal 1965 (IPT 65) yang terhimpun dari kalangan aktivis dan peneliti nasional maupun internasional. Pengadilan rakyat formal ini mendorong negara Indonesia untuk meminta maaf kepada para korban dan melakukan pelurusan sejarah. Putusan pengadilan rakyat akan dibacakan di Jenewa, Swiss pada 11 Maret 2016.

Di lain kesempatan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 2012 telah menyerahkan hasil penyelidikan peristiwa 1965 ke Kejaksaan Agung. Hasil penyelidikan tersebut menyatakan telah terjadi pelanggaran berat HAM. Namun, hingga hari ini belum ada kejelasan penyelesaian dari pemerintah atas tragedi kemanusiaan itu. Presiden Joko Widodo telah berniat untuk penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, seperti yang tertuang dalam program Nawacita. Tapi, harapan menipis ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan pemerintah tidak akan meminta maaf atas pelanggaran HAM masa lalu. Bahkan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan HAM, Luhut Binsar Panjaitan, mengatakan pemerintah tidak akan meminta maaf terhadap korban tragedi pembantaian 1965. “Kita hanya perlu proses rekonsiliasi namun itu bukan perkara mudah, sekarang yang perlu ialah menjaga anak dan cucu korban agar tidak merasakan beban sejarah,” kata Luhut dalam ulasan berita Tempo dengan judul G30S 1965, Luhut: Pemerintah Tak Akan Minta Maaf.

Namun, hingga sekarang pelurusan sejarah tak kunjung terjadi. Stigma negatif terhadap keluarga korban masih tetap melekat di ingatan masyarakat. “Stigma kepada keluarga korban masih begitu kuat, hingga sampai terbeban ke anak cucunya dan mereka menderita dengan hal itu. Karena itu, stigma ini yang harus kita bongkar,” tutur Saskia E. Wieringa sebagai koordinator peneliti IPT 65 saat ditemui oleh awak LPM DIANNS dalam sebuah acara di Omah Munir, Kota Batu. Hal tersebutlah yang menggerakan pendirian IPT 65, membuat pengadilan rakyat untuk memberikan tempat bagi para korban untuk bersuara dan bercerita. Bermula dari pemutaran film Jagal karya Joshua Oppenheimer, para peneliti dan aktivis HAM mendirikan IPT 65 dan menunjuk Nursyahbani Katjasungkana sebagai koordinatornya. Pendirian IPT 65 bertujuan menghadapi budaya impunitas dengan tujuan membongkar lingkaran penyangkalan, distorsi, tabu, dan rahasia. “Banyak sekali halangan yang kami dapatkan khususnya di Indonesia sendiri, seperti tidak adanya respon dari kementerian luar negeri, bahkan kami harus merogoh uang sendiri untuk pendanaan, karena tidak ada funding yang berani untuk mendanai kita,” tambah Saskia.

Walaupun banyak hambatan yang ditemui, IPT 65 dapat berhasil melaksanakan pengadilan rakyat. Pengadilan rakyat ini memiliki kekuatan yang terletak pada kapasitas untuk memeriksa bukti-bukti dan melakukan pencatan sejarah yang akurat terhadap kejahatan kemanusiaan dan genosida. Mekanisme pengadilannya sama seperti format pengadilan HAM yang secara formal. Dalam pengadilan IPT 65, dihadiri oleh tim peneliti prosfesional, hakim internasional seperti Zak Yacoob (ketua hakim), dan beberapa korban 65 yang berhasil lolos serta keluarga korban.

Putusan pengadilan yang dihasilkan tidak mengikat secara hukum, tetapi IPT 65 ini memiliki kekuatan moral dan politik. “Proses internasional itu cukup kuat, terutama ketika putusan hakim dibacakan di Jenewa pada Maret mendatang. Hal itu dapat menekan negara Indonesia,” jelas Saskia. Setelah ada putusan dari pengadilan, maka IPT akan membawanya kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan harapan mendapatkan resolusi PBB. Profesor yang berprofesi sebagai dosen di Universitas Amsterdam itu juga berharap ada penyelesaian di dalam negeri. Maka dari itu, langkah IPT 65 ini mendorong negara Indonesia untuk mengambil tanggung jawab negara. “Harus ada proses untuk mengadili di Indonesia sendiri, tidak bisa hanya di luar negeri saja,” jelasnya.

Putusan sementara yang dihasilkan dari pengadilan rakyat ialah terjadi Gross Human Crime di Indonesia pada periode 1965-1966. Koordinator IPT 65, Nursyahbani Katjasungkana, mengatakan ketua hakim saat persidangaan di Den Haag telah memberikan kesimpulan terhadap tragedi 1965 yaitu ‘Grossly immoral and unspeakably depraved’ atau telah terjadi pembunuhan yang sangat bengis dan tak beradab. Tragedi 1 0ktober 1965 memang banyak memakan korban. Dari buku Robert Cribb, tentang Palu Arit di Ladang Tebu telah mencatat antara tahun 1965-1966 jumlah korban mencapai angka 500.000 jiwa. Bahkan ketua tim ad hoc penyelidikan pelanggaran berat 1965-1966 Komnas HAM menyebutkan jumlah korban diperkirakaan hingga 3 juta jiwa. Sependapat dengan tim ad hoc Komnas HAM, Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) juga memperhitungkan lebih dari 3 juta jiwa menjadi korban.

Dengan ketidakpastian jumlah korban, hakim tidak bisa memastikan tindakan negara tersebut sebagai kejahatan genosida. Sebab, Nur menjelaskan ada dua kriteria yang harus terpenuhi untuk menggolongkan suatu kejahatan ke dalam genosida, yaitu kuantitas dan kualitas. Dalam hal ini, kriteria kuantitas tidak terpenuhi karena harus sepertiga dari penduduk suatu negara. Dalam rumusan konvensi Sidang Umum PBB pada 1948, genosida diartikan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan dengan niat dan tekad untuk menghancurkan, keseluruhan atau sebagian suatu kelompok nasional (bangsa), etnis, rasial atau religius. Mengacu dari konvensi tersebut, Nur menerangkan untuk tragedi 1965-1966 merupakan pemusnahan kelompok intelektual dan kelompok nasional yang masuk sebagai kriteria kualitas kejahatan genosida.

Reporter: Danar Yuditya dan Satria Utama