Reporter: Iqbal Achmad W. dan Putri Ayu S.

Kekosongan posisi dalam segi pemberitaan yang ditinggalkan oleh media mainstream, yang hanya mengutamakan profit, datang media alternatiflah untuk mengisi kekosongan tersebut dalam memberitakan dan menginformasikan suatu isu yang terjadi di masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Abdul Wahid, selaku pemateri dalam Diskusi Pers Mahasiswa (Persma) Diskursus Publik Di Antara Media Mainstream dan Media Alternatif pada Selasa, 13 Februari 2018 di Omah Diksi.

Dari kondisi tersebut dimana media mainstream terkekang oleh lingkaran kapital muncul media alternatif untuk menyajikan sebuah berita yang berbeda dan memberikan pemahaman kepada publik. Media alternatif perlu memberikan informasi yang berguna bagi publik melalui produk-produk jurnalistiknya. Media alternatif seperti Persma harus yakin bahwa informasi yang di berikan media mainstream tersebut bias, agar nantinya Persma sebagai media alternatif bisa menyajikan sebuah informasi yang tidak bias. “Persma bukan hanya memberitakan, tapi bagaimana juga harus bisa membangun diskursus dalam tulisan tersebut,” ungkap Wahid selaku anggota Center For Critical Society on Media (CALISM).

Pasca reformasi Persma dianggap mengalami kehilangan arah geraknya, dimana saat orde baru persma menjadi sebuah media untuk pengontrol pemerintahan berjalan. Setelah orde baru runtuh, Persma lebih berfokus kepada isu-isu kampus. Hal ini diungkapkan oleh Faizal AD saat diwawancara oleh awak LPM DIANNS. Tapi hal itu tidak bisa dianggap bahwa Persma mengalami kehilangan arah gerak karena Persma kebermanfaatan terdekatnya ada diranah kampus mungkin keterjangkauan dekat keterbatasan sumberdaya manusia sehingga kebanyakan Persma meliput di area kampus. Mahasiswa yang biasa disapa AD ini menekankan bahwa Persma mempunyai kebermanfaatan yang luas. “Saya pikir sudah kewajiban persma yaitu bermanfaat di lingkungan terdekatnya dahulu sebelum beranjak ke lain,”. Tapi hal tersebut tidak lantas menjadi penghalang Persma untuk melakukan pemberitaan di luar kampus, untuk meberitakan masalah-masalah sosial yang terjadi di sekitar mereka. AD yang selaku Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (Sekjen PPMI) Kota Malang, berpendapat bahwa dengan brand mahasiswa dan dengan background ilmu yang mereka miliki masing-masing, memiliki kemampuan analisis kasus-kasus diluar kampus sesuai kemampuan yang mereka miliki.

Wahid mengatakan untuk berkaca pada kondisi media mainstream yang mendominasi diskursus publik, pengangkatan isu tidak dilakukan secara berkelanjutan. “Secara perpolitikan di Indonesia yang diangkat oleh media mainstream itu hanya sebatas kasus korupsi yang dilakukan para petinggi negara dan siapa saja tersangkanya tapi media mainstream tersebut tidak mendalami kasus tersebut berjalan,” imbuh Wahid. Ia menambahkan permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat yang seharusnya bisa lebih diangkat untuk dijadikan sebuah berita dan memberikan informasi yang berguna kepada publik. Hal ini merupakan peran media alternatif untuk memberitakan porsi tersebut.

Persma sebagai media alternatif dalam membuat berita yang menyajikan sebuah informasi yang berguna kepada publik harus mempunyai sumberdaya manusia yang memiliki kemapuan analsis sosial yang baik, agar nantinya berita yang disajikan bisa dijadikan sebuah diskursus bagi publik dan juga mampu memberikan pemahaman isu yang di angkat untuk publik. “Fenomena atau fakta yang ada di sosial itu sifatnya menurutku itu bawang, jadi ketika kamu kupas masih ada dalamnya dikupas lagi ada dalamnya lagi, dikupas lagi ada dalamnya lagi,” ungkap Faizal AD. Ia menekankan Persma harus mampu untuk menggali dan terus menggali fakta yang ada di lapangan. Persma sebagai media alternatif memiliki kesempatan dan kekuatan yang besar untuk memberitakan suatu masalah secara mendalam karena mereka tidak terikat oleh lingkaran kapital ataupun di tuntut untuk membuat konten-konten yang banyak dan harus ada profit tertentu.

Selain warga kampus, sasaran dari produk-produk Persma adalah masyarakat. “Beberapa persma saya lihat bahasanya itu melangit tidak terlalu membumi, masyarakat itu susah menangkapnya, bener nih akan memberikan masyarakat kata-kata akademis tapi biasanya tidak diikuti penjelasannya sehingga orang-orang kesulitan membaca, padahal persma,  produknya harus membumi bisa dibaca semua kalangan,” ujar Faizal.

Persma sebagai media alternatif memiliki hambatan-hambatan yang dirasakan saat mengangkat berita dikarenakan kurangnya pembaca yang antusias dalam berita tersebut. Salah satu penyebab masyarakat kurang berminat dalam membaca berita adalah belum adanya diferensiasi atau maskot yang bisa menjadi daya tarik masyarakat. “Kelemahan Persma sih yang saya lihat dari segi kemasan karena buletin-buletinnya kadang-kadang cuma hitam putih, karena dari tampilannya kurang rapi atau tidak menarik. Kemasan yang menarikpun ternyata mampu menarik citra di masyarakat.” ungkap Faizal diakhir wawancara dengan awak LPM DIANNS.

Salah satu pemantik dalam diskusi tersebut, Zen RS bersepakat bahwa Persma harus mampu secara mandiri dalam melakukan aktivitas persnya, “Pers harus membiayai dirinya sendiri untuk tetap berputar, karena aktivitas pers mahasiswa masih berada pada lingkup dalam kampus,” ungkap editor Tirto.id tersebut.

Fotografer: Bimo Adi K.