Reporter: Danar Yuditya dan Rahma Agustina

Malang, dianns.org – Kebijakan pidana yang diterapkan oleh Universitas Brawijaya (UB), terkait mahasiswa jurusan apotik untuk mendisiplinkan dosen saat terlambat mengumpulkan di akhir semester. Dampak dari hal tersebut oleh semua mahasiswa yang menempuh mata kuliah terkait. Seperti yang terjadi di Fakultas Ilmu Administrasi (FIA), pemberian nilai B yang ekuivalen untuk dosen yang terlambat dikumpulkan di akhir semester. Ekuivalensi atau yang nilainya untuk semua mahasiswa tidak merefleksikan sebuah keadilan karena tidak akan ada pembeda antara mahasiswa yang memahami mata kuliah dengan mahasiswa yang tidak mengerti mata kuliah terkait.

Sebenarnya saat ini sudah dibicarakan dengan pihak universitas, banyak usulnya ini tidak adil . Pada saat itu, Pak Yogi selaku rektor UB juga mengatakan apapun yang diberikan juga tetap tidak adil , ?? Kata MR Khairul Muluk Pembantu Dekan I yang membawahi bidang akademik.

Saat ditemui di kantornya pada Senin (1/6/2015), Muluk juga bilang dikeluarkannya kebijakan ini untuk mendisiplinkan dosen dalam penyelesaian nilai. Bila nilai yang tersebut terlambat, maka akan mengganggu penggunaan Kartu Rencana Studi (KRS) dan setiap jurusan juga mengalami kesulitan. Kebijakan pidana untuk menghindari keterlambatan penyelesaian. Sebelum kebijakan pidana tersebut diterapkan, pihak fakultas memberikannya kepada dosen sebanyak tiga kali. Pertama, melalui surat tertulis pada saat pelaksanaan. Kedua, kirimkan surat tertulis lagi saat pihak fakultas melakukan akta naskah. Ketiga, dosen dosen belum berkumpul di H-1, pihak fakultas akan memberikannya dengan menelepon langsung dosen yang bersangkutan.

Dalam Sistem Informasi Akademik Mahasiswa (SIAM), arus dosen terlambat mengumpulkan ke akademik, maka nilai mahasiswa dalam satu kelas akan ada nilai K. dengan kata kunci yang tepat ini fakultas memberikan ekuivalensi menjadi B, kecuali bagi mahasiswa yang tidak terbuka ujian karena terkena Kategori. Muluk kata kebijakan ini merupakan moral moral bagi dosen dan pihak fakultas sebenarnya ingin melindungi mahasiswanya.

Kebijakan ulang ini merupakan turunan kebijakan dari universitas yang ada sejak lama. Banyaknya protes yang bermunculan di tingkat fakultas, buatlah sebuah universitas mengambil tindakan dengan mengadakan pembicaraan terkait masalah ini. Berdasarkan hasil dari pembahasan tersebut, pihak universitas yang berwenang di masing-masing fakultas untuk tetap atau tidak menjalankan kebijakan pidana. FIA mengambil keputusan untuk tetap menjalankan kebijakan tersebut. Pihak fakultas sebenarnya tidak menginginkan adanya kebijakan tersebut karena akan merugikan mahasiswa. Maka kebijakan tersebut tetap dilaksanakan sebagai kebijakan darurat. Sosialisasi mengenai hal ini dilakukan melalui rapat jurusan yang dihadiri oleh para dosen yang berasal dari FIA, dan pemberian surat tertulis untuk dosen dari luar FIA. Sosialiasai dan surat tertulis ini salah satunya berisikan tentang hukum yang diterima. Jika tidak ada keputusan seperti ini, maka dosen dalam berkumpul akan dilakukan seenaknya, tambah Muluk.

Penerapan kebijakan ini memunculkan kekecewaan dari mahasiswa. Salah satu kasusnya di alami oleh Hafidhah Fachrina, mahasiswa Perpajakan 2013, dosen mata kuliah Kepabeanan dan Ekspor di kelasnya terlambat mengumpulkan mahasiswa ke akademik. Dosen sudah tersesat tensi ke Program Studi (Prodi) Perpajakan dan jawabnya masih ada kesempatan untuk mengumpulkan ke akademik, kata hafidhah. Namun di saat dosen terkait mengumpulkan ke akademik, ternyata sudah selesai batas waktu. Mahasiswa menjadi bingung dengan keputusan tersebut. Dosen terkait dan ketua Prodi Perpajakan yang mencoba untuk mempertanyakan terkait hal tersebut tetap tidak dapat diubah karena terbentur dengan.

Dengan adanya hal tersebut sungguh mengecewakan, teman yang seharusnya bisa Indeks Prestasi (IP) 4,00 menjadi gagal dan ada teman yang seharusnya bisa diambil 24 Sistem Kredit Semester (SKS) dan hanya bisa mengambil 21 SKS karena yang disamaratakan, kata Hafidhah.