Reporter : Athiyyah Rahma

“Mengapa harus takut miskin jika Allah itu Maha Kaya? Miskin harta belum tentu miskin semuanya.”

Menyisir senja di pinggiran kota Malang tepatnya di Jalan Gajayana, di tengah hiruk pikuk kota yang katanya terpelajar  namun masih saja ada yang belum bisa mendapatkan makna dari kata belajar itu. Penjual Buah, pofesi yang hanya dipandang sebelah mata dan rendah oleh sebagian orang. Namun, tak berlaku untuk lelaki yang selalu berbaju safari berwarna coklat pudar dilengkapi empat kantong dengan topi bundar berwarna hitam. Sudarsono, begitu ia akrab disapa. Di usianya yang sudah mulai menginjak 80 tahun, ia masih saja gigih dengan profesi yang sudah dijalaninya selama 22 tahun. Pekerjaan kecil yang sehari-hari dijalani dengan penuh rasa tanggung jawab yang besar tidak membuat Sudarsono berkecil hati.

Lelaki kelahiran Bangil ini  setiap bulannya mendapatkan penghasilan sekitar 700.000 dengan berjualan sebanyak 12 kali tiap pukul 15.00 hingga malam. Walau dengan gaji yang dibilang kecil itu, Sudarsono tak pernah berkecil hati, ia tetap menerimanya dengan penuh rasa syukur. “Hidup itu harus ikhlas. Jangan pernah mengeluh. Sing penting halal,” ujarnya. Sudarsono memiliki tiga orang anak yang semuanya adalah perempuan. Anak yang pertama dan kedua sudah menikah dan tinggal bersama suaminya, sementara anak yang ketiga memiliki kelainan cacat mental yang membuatnya selalu bergantung pada Sudarsono. Jika ditanya soal istri, Sudarsono tidak tahu kemana istrinya pergi semenjak anak yang ketiga lahir. Itulah yang membuatnya tidak maksimal dalam bekerja, dikarenakan setiap hari Jumat-Minggu ia harus pulang ke Bangil untuk mengurus anaknya yang berkebutuhan khusus. Dengan kondisi ekonomi yang seperti ini, Sudarsono selalu berusaha dengan baik mengatur  segala keuangan keluarganya.

Kondisinya yang bisa dikatakan kurang dalam hal ekonomi, tidak membuat Sudarsono melupakan kewajibannya sebagai seorang hamba kepada Tuhannya. Ia masih saja bersujud dan mengirimkan doa–doa penuh harap. Ia berlari kecil jika Tuhannya mulai memanggil. Jika melihat ada dua keranjang besar berisi buah mangga atau jeruk di pinggir jalan yang ditinggal penjualnya saat adzan berkumandang, itu berarti keranjang milik Sudarsono. “Adzan itu panggilan cinta Tuhan. Bersyukurlah manusia yang masih bisa mendengar dan merasakan cinta Tuhannya.” Ia tak pernah alpha dalam setiap sholat berjamaah di mushola. Ia juga tak pernah takut jika buah–buah miliknya berkurang karena diambil oleh orang. “Rejeki kuwi sampun diatur Gusti Allah. Ora usah wedi mlarat yen Gusti Allah kuwi sugih,” jawabnya.

Jika ditanya soal hambatan, setiap pekerjaan pasti memiliki hambatan. Hal itu juga sering dialami Sudarsono. Menjalani profesi sebagai penjual buah tidak membuatnya terbebas dari berbagai hambatan dan masalah. Terkadang ada saja yang jail mengambil buahnya tanpa izin, selain itu juga ada saja yang bilang akan membayar tapi tidak dibayar hingga berbulan-bulan. Dengan senyuman, Sudarsono terus bersabar menghadapi segala hambatan yang ia yakini sebagai ujian dalam rangka kenaikan imannya.

Jika ada waktu luang, Sudarsono juga menggunakan sebaik-baiknya untuk membaca iqro’ atau juz ‘amma. Meskipun ia belum bisa membaca al-quran, Ia tidak ingin ketinggalan dalam berburu amal untuk bekal di akhirat kelak. Walau ia miskin harta di dunia, ia tidak ingin menjadi miskin di akhirat kelak. Ia selalu ingin menjalani hari demi hari menjadi pribadi yang lebih baik. Di usia senjanya, Sudarsono semakin sadar bahwa umur itu akan habis dimakan waktu kecuali amal jariyah yang tidak pernah putus, ilmu yang bermanfaat untuk orang lain, serta doa anak sholeh yang selalu dipanjatkan. Kapan lagi banyak melakukan ibadah kalau bukan sekarang waktunya? Karena mati seseorang itu hanya Allah yang menentukan. Namun, cara menuju  kematian kita-lah yang menentukan.

Sebuah kisah dari seorang penjual buah yang sederhana. Walaupun hidupnya banyak masalah, itu tidak pernah sedikitpun membuat Sudarsono menyesal sudah hidup di dunia ini. Juga tidak pernah menyalahkan apa yang sudah digariskan oleh Tuhannya. Melainkan, selalu bersyukur atas apa yang sudah dimilikinya dan selalu berusaha. Karena sejatinya tempat  istirahat yang abadi adalah di akhirat kelak.