Reporter: Rima Fahmi A. dan Salsa Nur A.

Malang, dianns.org – Muhammad Iqbal yang merupakan anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) SUAKA, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung mengalami intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian Bandung. Hal tersebut terjadi ketika proses peliputan mengenai demonstrasi penolakan pendirian rumah deret di Kawasan Kelurahan Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan pada Kamis, 12 April 2018 di Balaikota Bandung. Mengenai tindak lanjut kasus tersebut, Iqbal didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung telah menempuh proses pelaporan kepada pihak berwajib. Kasus tersebut juga memunculkan reaksi dari berbagai pihak diantaranya Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung (FKPMB), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Kota Malang (PPMI Kota Malang). Pihak tersebut mengecam tindakan aparat kepolisian Bandung yang dinilai melanggar Undang-Undang (UU) tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan UU Pers.

Seperti yang di kutip dari website resmi LPM ARENA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menjelaskan kronologi bagaimana perlakuan intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap Iqbal. Intimidasi yang dilakukan aparat kepolisian berbentuk tekanan untuk menghapus foto yang telah dipotret oleh Iqbal. Foto tersebut diambil ketika siang hari terjadi bentrok antar pengunjuk rasa dan polisi. Polisi menganggap Iqbal memotret foto tanpa izin, padahal Iqbal telah menjelaskan bahwa dirinya pers dan telah mengantongi kartu pers. Setelah terus ditekan dan diinterogasi, Iqbal yang awalnya terus menolak perintah tersebut akhirnya terpaksa menghapus foto yang telah ia potret. “Ini demi keselamatan kamu,” ujar Iqbal sambil menirukan ancaman mereka. Iqbal mendapatkan perlakuan dengan diambilnya secara paksa kartu pers oleh polisi dan mensyaratkan foto tersebut harus dihapus. Sore harinya, bentrok antar pengunjuk rasa dan polisi kembali terjadi. Tiga pengunjuk rasa mengalami kekerasan yang cukup parah dari aparat kepolisian. Iqbal yang berusaha untuk menenangkan suasana malah menjadi sasaran kekerasan oleh polisi. Ia ditinju dua kali di pipi bagian atas. Tidak hanya itu, ia juga diinterogasi, dicatat Kartu Tanda Penduduk (KTP), baru setelahnya dilepas.

Dihubungi oleh awak LPM DIANNS melalui WhatsApp, Ade Fauziah selaku anggota LPM SUAKA yang merupakan kawan Iqbal, saat itu juga ikut meliput aksi di Balaikota Bandung. Menjelaskan setelah kasus tersebut, pada hari Jumat, 13 April 2018 korban menuju Resor Kriminal (Reskrim) Bandung didampingi oleh LBH Bandung mengajukan laporan penganiyaan dan pidana pers. Iqbal yang statusnya saat ini sebagai pelapor masih dalam proses penanganan perkara lebih lanjut terkait kasus ini. “Dan sudah di berita acara interview juga, terus sudah divisum, tinggal nunggu hasil visum dan panggilan selanjutnya,” terang Ade.

Saat menjalankan peliputan, Iqbal mendapatkan kekerasan. Seperti yang dipaparkan Hardiyansyah selaku pengacara Iqbal dari LBH Bandung melalui WhatsApp, “Kalau untuk sekarang kita melaporkan dugaan tindak pidana pers yang dilakukan oleh oknum polisi. Pasal 18 UU Pers dan untuk yang penganiayaan pasal 351 KUHP.”

Selain bentuk advokasi yang dilakukan oleh pihak LBH, FKPMB juga melakukan dukungan dengan menjaga isu ini sampai oknum yang terlibat diadili. Seperti yang dituturkan Ade melalui WhatsApp, “Kita bakal jaga isu ini, sampai oknum tersebut diadili seadil adilnya“. Salah satu bentuk menjaga isu tersebut dengan memposting pemberitaan ini di sosial media persma Bandung lainnya. Serta dibuatnya rancangan untuk mengkampanyekan kasus ini yang mengandung unsur edukasi untuk masyarakat.

Dukungan pun datang dari luar Bandung, salah satunya PPMI. PPMI mengecam tindakan represifitas yang dilakukan oknum kepolisian terhadap Iqbal. Hal itu dipertegas dengan pernyataan Faizal Ad Daruquthny yang biasa dipanggil Ade selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) PPMI melalui WhatsApp, “Kami jelas mengecam tindakan tersebut, karena apa yang dilakukan saudara Iqbal adalah kerja jurnalistik yang harusnya dilindungi oleh Undang-Undang”. PPMI lewat website resminya telah mengeluarkan pernyataan sikap terkait dengan kasus ini. Poin yang terkandung dalam pernyataan sikap yang dikeluarkan PPMI memuat tentang kecaman tindakan oknum kepolisian terhadap Iqbal, menuntut dan mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk menyelesaikan masalah dan melindungi korban dan keluarga korban, serta mendesak UIN Gunung Djati untuk melindungi LPM SUAKA.

Pelaporan yang dilakukan oleh pihak korban dan kecaman yang dilakukan oleh berbagai pihak menunjukkan bahwa aparat kepolisian yang melakukan tindakan represifitas telah melanggar aturan yang berlaku terkait UU Pers dan UU HAM. Namun dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999 pasal 1 menjelaskan perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia. Tidak ada penjelasan yang mengatur secara gamblang tentang perlindungan untuk Pers Mahasiswa (Persma). “Hal ini yang membuat kita (persma) kurang kuat posisinya di ranah hukum,” jelas Ade.

Menanggapi masalah ini, awak LPM DIANNS yang bertemu dengan Eko Widianto selaku Bidang Organisasi, Pendidikan, dan Perempuan AJI Malang, menyatakan, “Apapun alasannya tak boleh ada kekerasan terhadap jurnalis, termasuk jurnalis dari Persma. UUD 1945 jelas menegaskan dan menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi setiap warga negara. Dan hal tersebut selaras dengan Deklarasi Universal HAM termasuk UU HAM yang menjamin hal itu.”

Ketua AJI, Hari Istiawan, juga menjelaskan tentang ragam media online atau cetak, yang dibuat oleh Dewan Pers, “Ragam media online atau cetak dibedakan menjadi empat kuadran. Persma sendiri masuk kedalam kuadran dua. Belum memenuhi syarat badan hukum, sebagian terdaftar di dewan pers, tapi isinya menaati kode etik jurnalistik dan menjalankan fungsi pers dan fungsi jurnalistik dengan benar, sebagian memiliki penanggung jawab dan mencantumkan alamat redaksi. Tidak bisa dipungkiri bahwa persma memiliki produk jurnalistik yang terpercaya atau positif namun kurang dalam hal legalitas.” Hari diakhir wawancara menekankan, ketika terdapat konflik atau sengketa terhadap anggota dan atau organisasi persma, maka bisa selesaikan dengan penilaian atau rekomendasi mediasi dewan pers. Ataupun diproses hukum dengan aturan yang berlaku. Kemudian dilakukannya koordinasi dengan dewan pers dan Kepolisian Republik Indonesia dalam rangka menjaga kemerdekaan pers atau berekspresi.

Gambar dilansir dari lpmarena.com