Perwakilan PPMI Kota Makassar (merah dan biru) saat menyampaikan tuntutan pencabutan UU PT kepada Asep Supanda, Kasubdit Minat, Bakat, dan Organisasi Kemahasiswaan Kemenristek Dikti (kanan), dalam Seminar Nasional Dies Natalies PPMI ke-23 di Universitas Muhammadiyah Semarang pada Sabtu, 30 Januari 2016.

Reporter: Dinda Indah Asmara

Semarang, dianns.org – Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Makassar menuntut pencabutan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi atau yang dikenal dengan UU PT dalam seminar nasional pada Sabtu, 30 Januari 2016. Tuntutan dilayangkan kepada Asep Supanda, selaku Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Minat, Bakat, dan Organisasi Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) saat menjadi pemateri dalam seminar yang diselenggarakan di Gedung Rektorat Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus). PPMI Kota Makassar menilai UU PT sangat merugikan mahasiswa. Namun, Asep Supanda belum berani menyatakan sikap terkait tuntutan tersebut.

UU PT adalah undang-undang yang mengatur penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Dalam undang-undang tersebut, perguruan tinggi diberikan otonomi. Artinya, perguruan tinggi mandiri dalam penyelenggaraanya, baik dalam pengelolaan organisasi, kemahasiswaan, ketenagakerjaan, sarana prasarana, maupun dalam hal keuangan. Dilansir dari Kertas Tuntutan PPMI Dewan Kota Makasar, pemberian otonomi ini bisa berakibat pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam pendidikan atau komersialisasi pendidikan.

Axel Layuk, salah satu anggota PPMI Dewan Kota Makassar, menuturkan pihaknya telah melakukan kajian terkait pelanggaran dalam UU PT sejak setahun yang lalu. Berdasarkan hasil kajian tersebut ditemukan beberapa pelanggaran pada pasal-pasal yang termaktub dalam UU PT. “Dari data kajian yang kami dapatkan, kami menemukan banyak pertentangan dan pasal-pasal yang sifatnya ngaret,” tambah mahasiswa Universitas Fajar itu saat ditemui LPM DIANNS seusai seminar nasional yang bertajuk “Pembungkaman Gerakan Mahasiswa di Era Demokrasi” tersebut.

Salah satu pasal yang disoroti oleh PPMI Dewan Kota Makassar adalah pasal 74. Dalam pasal ini disebutkan, kuota penerimaan mahasiswa kurang mampu dan berprestasi sebesar 20 persen. Pasal ini dianggap bertentangan dengan pasal 28C ayat (1), pasal 28D ayat (1), pasal 28I ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), serta pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Alasannya, pasal ini mendiskriminasikan warga negara yang kurang mampu secara ekonomi dan tidak berprestasi dalam mendapatkan pendidikan karena hanya menjamin warga negara yang kurang mampu dan berprestasi saja.

Pendiskriminasian ini semakin dikuatkan oleh UU PT dengan pasal 73 ayat (1) yang berbunyi, “Penerimaan Mahasiswa baru Perguruan Tinggi Negeri (PTN) untuk setiap Program Studi dapat dilakukan melalui pola penerimaan Mahasiswa secara nasional dan bentuk lain.” Mahasiswa baru yang diterima melalui jalur penerimaan dalam bentuk lain seperti yang tertulis dalam pasal tersebut, dapat dikenakan biaya yang jauh melebihi biaya mahasiswa yang diterima melalui jalur seleksi nasional. Ayat ini menurut PPMI Dewan Kota Makassar mengindikasikan pelepasan tanggung jawab negara karena membiarkan PTN membuka jalur penerimaan yang dikelola secara mandiri. Penerimaan Mahasiswa baru, lanjut PPMI Dewan Kota Makassar, tidak boleh dilakukan dalam bentuk lain. Namun, keseluruhan kuota mahasiswa harusnya tertampung melalui proses penerimaan nasional yang pelaksanaannya ditanggung oleh negara.

Melihat banyaknya pertentangan dan penyimpangan dalam UU PT ini, Dewan Kota Makassar mengajukan tiga tuntutan kepada Kemenristek Dikti, yaitu: pertama, mencabut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi karena tidak sesuai dengan UUD 1945. Kedua, memberikan ruang bagi mahasiswa dalam pengambilan kebijakan terkait pendidikan nasional. Ketiga, memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengenyam pendidikan tinggi.

Menanggapi tuntutan tersebut, Asep Supanda menyatakan belum berani mengambil sikap karena belum membaca hasil kajian dari PPMI Dewan Kota Makassar. Selain itu, lanjutnya, masalah ini berada di luar ranah dan kuasanya. Tuntutan ini juga telah dilayangkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) namun tidak ditanggapi. Axel menuturkan langkah selanjutnya yang akan diambil oleh pihaknya adalah mengajukan tuntutan ke Kemenristek Dikti. Jika masih tidak ditanggapi, maka mereka akan melakukan aksi turun ke jalan secara terus-menerus.

PPMI Nasional akan mengawal isu ini karena masalah ini adalah masalah mahasiswa. PPMI Nasional akan melakukan konsolidasi untuk mengawal masalah ini. “Konsolidasi akan dilakukan dengan men-share hasil kajian PPMI Dewan Kota Makassar kepada PPMI kota lain agar bisa melakukan analisis dan selanjutnya baru dilakukan konsolidasi besar-besaran pada pertemuan nasional selanjutnya,” tutur Abdus Somad selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) PPMI Nasional saat ditemui DIANNS setelah menjadi pemateri dalam Seminar Nasional Dies Natalies PPMI ke-23 tersebut. Isu ini sendiri sebenarnya telah disepakati dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PPMI di Makassar sebagai isu bersama pada Oktober 2015 silam.

Fotografer: Satria Budi Utama