Kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan yang cukup tinggi selama pandemi. Berdasarkan data Komnas Perempuan Indonesia, kekerasan berbasis gender telah meningkat 63% selama masa pandemi Covid-19. Menyikapi hal tersebut, Amnesty Chapter UIN Jakarta mengadakan diskusi via online dengan tajuk Voices and Action of Women During Pandemi pada Jumat malam (12-03).

“Hal ini (red: peningkatan kekerasan berbasis gender) merupakan situasi yang cukup memprihatinkan” tegas Nurina Savitri, narasumber dari Amnesty Internasional Indonesia. Sebab menurutnya hak perempuan itu juga merupakan hak mereka sebagai manusia pada umumnya. Oleh karena itu antara laki-laki dan perempuan seharusnya tidak boleh ada pembedaan. “Walaupun memang ada beberapa kondisi yang tidak dimiliki laki-laki, namun bukan berarti harus ada penindasan” tegasnya.

Lebih lanjut, Nurina Savitri menjelaskan terdapat 3 tantangan utama yang menjadi penyebab dinamika kekerasan perempuan di Indonesia. Pertama, legislasi yang belum memihak perempuan terbukti dengan pasang naik-surut di sahkannya RUU PKS. Kedua, budaya patriarki yang masih mengakar di masyarakat Indonesia. Ketiga, ekosistem tren ancaman terhadap perempuan pembela hak asasi manusia. Dimana dapat terlihat dari LBH APIK yang mendapat ancaman di tahun 2015. Ketiga tantangan inilah yang harus diatasi untuk mencapai perjuangan kesetaraan nasib perempuan Indonesia.

Senada dengan yang Nurina katakan diawal, aktor dan aktivis perempuan Hannah Al Rashid mengungkapkan kekhawatirannya. “Di tahun terakhir ini (red: sejak pandemi) memang urgensi terhadap isu kekerasan berbasis gender terutama menjadi sesuatu yang meningkat”. Hannah selanjutnya menyoroti RUU PKS yang belum final di tahun sebelumnya yang mengakibatkan banyak kekecewaan dari masyarakat khususnya pejuang kesetaraan perempuan.

Selain itu, Ia juga menyoroti beberapa perkembangan isu kekerasan seksual di sektor per-filman Indonesia. Menurutnya sudah ada beberapa film makers yang telah berusaha menciptakan peraturan hingga mitigasinya di lokasi syuting agar menciptakan ruang kerja yang aman dan nyaman dari kekerasan seksual dan bullying. Melalui hal tersebut, Ia mengharapkan langkah-langkah tersebut dapat diikuti oleh banyak film makers lainnya agar terciptanya ruang yang aman dan nyaman bagi seluruh pihak.

Kritik lain disampaikan Pegiat HAM Perempuan Yuniyanti Chuazaifah. Ia menegaskan ada beberapa kompleksitas isu perempuan selama setahun pandemi berlangsung. Pertama, beban kerja perempuan selama pandemi yang menjadi irasional karena kegiatan keluarga tersentral dirumah. Kedua, oleh karena kegiatan tersentral di rumah menyebabkan KDRT dan kekerasan dalam berpacaran kian meningkat tinggi baik di ranah siber maupun non siber. Ketiga, stress yang kian meninggi menyebabkan bertambahnya sakit jiwa massif yang terbuka dan tersembunyi yang terbukti dengan masuknya sekitar 4.000an data ke Kementrian Pemberdayaan Perempuan.

Selanjutnya Yuniyanti juga menyoroti kompleksitas masalah yang ada pada Perempuan Pembela HAM. “Di beberapa pertemuan yang saya ikuti kawan-kawan perempuan pembela HAM yang melakukan pendampingan pada kasus kekerasan di pengadilan tidak memakai APD karena tidak ada dana. Hal itu mengancam nyawa” tegasnya. Ia menyampaikan bahwa hal ini sangat berbahaya dalam masa-masa pandemi baik untuk korban maupun pembela HAM yang harus mendampingi korban.

Pada akhir diskusi, Demoya Eleya selaku moderator menegaskan pergerakan perempuan harus tetap berjalan dikondisi apapun. “Saling mendukung, saling menopang, dan saling menyemangati adalah kunci pergerakan perempuan” ungkapnya. Ia juga menambahakan bahwa tidak ada perjuangan tanpa pengorbanan dan perjuangan kesetaraan perempuan bisa diperjuangan dari tangan kita sendiri.

 

Penulis: Aldo Manalu

Editor: Nadya Rajagukguk