Reporter: Nurhidayah Istiqomah dan Antonius Bagas

Malang, dianns.org – Sebagai bentuk peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia yang jatuh pada Rabu, 3 Mei 2017, Aliansi Jurnalis Malang Raya menggelar aksi simpatik di depan Balai Kota Malang. Aksi tersebut digelar sebagai bentuk perlawanan terhadap berita hoax, perlawanan kekerasan terhadap jurnalis, dan independensi media. Agenda aksi tersebut terdiri atas longmarch, orasi, penggalangan tanda tangan, dan diakhiri dengan pembagian bunga kepada pengguna jalan.

Aksi tersebut digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Malang Raya. Massa aksi menyerukan perlunya penegakan hukum yang serius terkait kasus kekerasan terhadap jurnalis oleh aparat penegak hukum. AJI Indonesia mencatat sepanjang tahun 2016 ditemukan 76 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Bahkan, pada bulan Januari hingga April 2017 sudah terdapat 24 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Selain itu juga terdapat 8 kasus kematian jurnalis yang belum terselesaikan sampai saat ini. Eka Nurcahyo, selaku Redaktur Harian Surya, menyatakan bahwa masih banyak tindak kekerasan yang dihadapi jurnalis. Meskipun hal tersebut telah sering disosialisasikan kepada masyarakat luas, termasuk imbauan terhadap pemerintah dan aparatur negara. “Bentuk kekerasan terhadap jurnalis baik media massa maupun media kampus harusnya diharamkan. Kalau terjadi permasalahan dalam pemberitaan harusnya diselesaikan sesuai undang-undang,” ungkap sosok yang akrab disapa Eko tersebut.

Ketika berbicara kekerasan terhadap profesi jurnalis, tidak hanya tentang kekerasan secara fisik. Tetapi juga kekerasan secara psikologis, baik dalam bentuk teror dari dalam ataupun dari luar lingkungan kerjanya. Abdul Malik menyampaikan kepada Awak LPM DIANNS bahwa selain bentuk tekanan dari luar, banyak pula intervensi dari dalam ruang redaksi. “Selain melawan bentuk kekerasan dari pihak luar seperti tentara atau lainnya, di dalam ruang redaksi pun masih banyak tekanan dari atasan yang membatasi,” tutur wartawan dari salah satu stasiun televisi nasional tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam lembaga pers sendiri masih ditemukan tekanan yang mengancam independensi wartawan. Sudah menjadi rahasia umum jika media-media arus utama sebagai kepanjangan tangan dari segelintir oknum yang sengaja menggunakannya sebagai alat politik maupun kepentingan bisnis. “Bahkan ruang redaksi sendiri masih belum independen dari tekanan pemilik modal. Misalnya saja kalau bos kita punya bisnis dan ketika kita ingin mengangkat berita itu, pasti banyak tekanan di ruang redaksi,” imbuhnya.

Tak hanya jurnalis umum yang mendapat intimidasi, pers mahasiswa pun sering mendapatkan intimidasi dan pembatasan gerak dari birokrat kampus. Banyaknya represifitas dan keterbukaan informasi publik yang dibatasi para birokrat mengakibatakn kesulitan pers mahasiswa untuk mencari data. Tak hanya itu, intimidasi juga masih sering diterima oleh pers mahasiswa. Hal ini seperti yang diungkapkan Rifatul Ulya, Sekertaris PPMI, mengaku bahwa masih ada intimidasi dari pihak birokrat kampus. “Intimidasi itu ada, contohnya Kavling yang kemarin sempat mendapat intimidasi dari Wakil Rektor III Universitas Brawijaya. Walaupun bukan secara fisik, intimidasi nonfisik seperti ancaman, bentakan dan pemberedelan sering terjadi,” ungkap perempuan berjilbab yang akrab disapa Ifa itu.

Menanggapi permasalahan kekerasan terhadap jurnalis, Sutiaji, Wakil Wali Kota Malang mengungkapkan permohonan maaf atas nama Wali Kota Malang, apabila masih terjadi intimidasi dari aparat kepada para jurnalis. Ia sepakat untuk memberikan dukungan kepada para jurnalis. Karena jurnalis sebagai bagian dari pilar demokrasi. “Saya mewakili Wali Kota Malang meminta maaf kepada para jurnalis apabila masih ada tindakan kekerasan fisik maupun nonfisik dari aparat kami. Saya mendukung dan mendorong karena hanya karena media yang dapat kami harapkan menjadi bagian pilar dari demokrasi,” jelas Sutiaji.

Menanggapi maraknya media massa yang menyebarkan informasi hoax, Abdul Malik yang juga sebagai Koordinator Aksi, menuntut media alternatif harus mampu menyangkal berbagai informasi yang “menyesatkan”. “Media alternatif terutama pers mahasiswa harus mampu menangkal informasi yang sesat saat ini. Kita harus menyuarakan kebenaran, jangan peduli pada ancaman-ancaman yang ada,” sambungnya.

Pemaknaan Hari Kebebasan Pers Internasional

Momentum Hari Kebebasan Pers Internasional juga menjadi media bagi para jurnalis untuk menyuarakan keresahannya. Eko memaknai hari tersebut sebagai perbaikan untuk pers dan media. Beliau menjelaskan bahwa pers harus bekerja secara profesional, sesuai peraturan dan kode etik yang berlaku. “Kita harus bekerja secara profesional, apabila kita dapat profesional, maka masalah intimidasi bisa dikurangi. Kita harus menyajikan pemberitaan secara menyeluruh, harus ada konfirmasi, selama kita melakukan sesuai kaidah yang ada, maka jurnalis dapat berjalan dengan baik,” papar Eko.

Sementara perwakilan dari pers mahasiswa memaknai Hari Kebebasan Pers dengan harapan aksi ini terus berlanjut agar tidak ada represifitas lagi dan keterbukaan data tidak dibatasi. “Harapan dari aksi ini ke depannya tidak ada lagi represifitas dan kita inginkan keterbukaan informasi. Dengan adanya aksi ini, masyarakat tahu bahwa pers ini harus bebas, jangan ada bentuk represif dan intimidasi,” jelas Ifa. Abdul Malik juga memaparkan bahwa media tidak boleh anti kritik. Banyak profesi jurnalis yang tak hanya rusak dari luar, melainkan dari oknum jurnalis sendiri juga memanfaatkan untuk kepentingan terselubung. Ia pun berharap media dapat berpegang teguh pada kode etik jurnalistik.